Namanya adalah Tobias N'mecha. Ia adalah seorang pendeta Nigeria.
Yup, aku sekarang berada di Nigeria, entah di kota apa. Aku sekarang berada di ruang seperti penjara bersama pria-pria kulit hitam ini. Kurang lebih, yang ada di dekat aku, ada sekitar 10 orang.
Tadi aku mendarat di depan gerombolan bersenjata. Gerombolan itu pun berkulit hitam. Hanya saja wajah mereka tertutupi oleh masker. Hanya kedua mereka yang terlihat. Oleh mereka, setelah mendengar aku berkata, "Ya Tuhan Yesus!", mereka langsung menyeret paksa aku untuk masuk ke dalam sebuah jip. Di dalam jip, aku diapit oleh dua orang besar-besar.
Hingga, yah, di sinilah aku berada. Dalam sebuah kurungan. Bersama pria-pria Nigeria yang kurasa beragama Kristen.
Tobias mendekati aku, dan berkata, "Menurutku, kau seperti utusan Tuhan. Apakah kau malaikat?"
Aku terkekeh. Aduh, begini lagi. Saat aku di Yerusalem dan Ethiopia pun sama. Dua orang yang aku temui di sana juga mengira aku utusan Tuhan. Padahal, menurut aku, aku hanyalah orang biasa yang apes saja, harus mengalami kejadian supranatural super aneh ini. Ah, maksud aku, isekai ini.
Yang lainnya beringsut padaku. Namanya Lucky N'Birawa. Ia berkata, "Entah kenapa, sejak kau datang ke sel ini, aku dan lainnya seolah sepakat, hari-hari pembebasan kami sudah semakin mendekat."
Yang lainya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Bahkan ada seorang yang menepuk punggung aku sambil tersenyum.
Udara di dalam ruangan itu panas dan lembap, berbau keringat, debu, dan logam karatan dari jeruji besi. Lampu redup yang menggantung di langit-langit berkelap-kelip seperti akan padam kapan saja. Dari luar, sesekali terdengar suara langkah sepatu berat dan teriakan dalam bahasa Hausa, bercampur dengan dentingan senjata.
Aku menatap wajah-wajah di sekitarku. Tampak di hadapan mataku, wajah-wajah lelah tapi penuh keteguhan. Mereka semua tampak pasrah, tapi di mata mereka, aku menangkap sesuatu. Itu bukan ketakutan, melainkan semacam iman yang keras kepala. Seperti mereka yakin, bahkan di neraka sekalipun, Tuhan tetap hadir.
Tobias duduk di depanku. Tubuhnya tinggi besar, tapi sorot matanya lembut. Ia mengenakan jubah lusuh warna cokelat tua, di lehernya tergantung salib kayu sederhana. Di dahi dan pipinya ada bekas luka. Luka lama, yang tampaknya tidak hanya berasal dari luar, tapi juga dari dalam. Menurut aku, seperti dari serentetan derita yang panjang.
Ia menatapku dalam-dalam dan berkata dengan logat Nigeria yang berat, “Brother, aku tidak tahu siapa kau sebenarnya. Tapi, sejak kau muncul di depan kami, malam ini terasa berbeda. Bahkan penjaga tadi... tidak seperti biasanya. Ia membiarkan kami berdoa bersama. Biasanya, mereka memukuli kami kalau kami bersuara terlalu keras.”
Aku menghela napas, mencoba tersenyum. “Aku bukan siapa-siapa, Tobias. Aku hanya orang biasa yang tersesat terlalu jauh.”
Lucky yang duduk di sebelahku tertawa kecil. “Tersesat terlalu jauh? Brother, kau dari mana memangnya?”
“Kalau aku bilang dari Indonesia, kalian percaya?” tanyaku balik.
Mereka berpandangan sejenak, lalu tertawa. Kurasa, itu bukan karena mengejek, tapi karena tidak tahu letaknya Indonesia di peta dunia.
“Apakah itu di Afrika juga?” tanya Lucky polos.