"Menurutku, Iman," kata Adam Kuol terkekeh. "lebih bagus lagi jika Sudah Selatan segera merdeka. Bagaimanapun secara agama, aku dan masyarakat di kawasan Sudan Selatan, kami ini mayoritas Kristen. Sementara saudara kami di Sudan, apalagi di Khartoum, mereka rata-rata beragama Islam."
Aku terkekeh. "Padahal, bukankah lebih bagus tetap bersatu sebagai satu negara? Bukankah bisa dibicarakan baik-baik dengan pemerintah pusat?"
Adam Kuol terkekeh. "Seharusnya begitu. Tapi, kami lelah dipermainkan oleh pemerintah Khartoum. Sumber daya kami dikeruk habis-habisan untuk kepentingan oknum-oknum tertentu saja. Sementara, di Sudan Selatan, kami ditelantarkan. Belom lagi, baku tembak tiada henti. Menurut aku, lebih baik Sudan Selatan merdeka saja. Selain itu, secara etnis, kami berbeda dengan teman-teman di Utara yang secara budaya, tak jauh berbeda dari masyarakat Arab."
Aku menyesap kopi. Sudah mulai mendingin akibat terlalu lama didinginkan. Sembari menyesap kopi, aku memperhatikan sekeliling aku. Ternyata orang-orang di warung ini pun sama. Mereka berharap banyak dari referendum besok. Mereka sepertinya sepakat bahwa merdeka adalah solusi terbaik. Bahwa otonomi khusus bukankah solusi terbaik.
Siang ini, aku tiba di Juba. Baru subuh aku mendarat di kota yang masuk ke kawasan Sudan Selatan yang didominasi oleh etnis Dinka. Adam menemukan aku saat ia sedang berjalan-jalan di dekat rumahnya.
"Kudoakan yang terbaik, Adam," Aku menepuk punggung Adam pelan.
"Kali ini giliran kau bercerita tentang Indonesia," ujar Adam tertawa. "Aku pernah dengar tentang keindahan Indonesia. Bahkan sempat terpikirkan untuk kuliah di Universitas Indonesia."
Aku menatap wajah Adam Kuol. Kulitnya gelap legam, tapi matanya bening dan jujur. Senyum lebarnya menular seolah ingin berkata, meski hidup di tengah panasnya konflik, ia masih percaya dunia bisa menjadi tempat yang lebih baik. Di belakangnya, matahari Juba mulai menurun, memantulkan cahaya keemasan di genangan air dan jalanan tanah merah yang mengering perlahan.
“Kau ingin kuliah di Indonesia?” tanyaku sambil tersenyum kecil. “Wah, itu jauh sekali dari sini, Adam. Kenapa Indonesia?”
Adam meneguk kopinya yang tersisa setengah. “Karena aku ingin belajar bagaimana caranya negara kalian bisa hidup damai dengan begitu banyak perbedaan. Aku baca di buku, di sana ada banyak agama. Tak jauh berbeda dengan di Sudan. Di sana, ada Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan herannya, semuanya tinggal bersama dalam satu negara. Di sini, perbedaan justru seperti menjadi alasan untuk saling membunuh.”
Aku mengangguk pelan. Hening sesaat. Hanya terdengar derik jangkrik dan obrolan pelan orang-orang di meja lain yang membicarakan hasil referendum esok hari. Di wajah mereka, terlihat campuran antara harapan dan ketakutan.
“Adam,” kataku pelan. “Di negaraku, kami juga tidak sempurna. Masih ada pertikaian, masih ada juga yang memanfaatkan agama untuk kepentingan mereka sendiri. Tapi mungkin bedanya, kami punya ruang untuk berdialog. Kami berusaha mengingat bahwa pada akhirnya, kami sama-sama manusia yang ingin hidup tenang.”
Adam tersenyum lebar. “Ah, itu yang sulit di sini, Iman. Kami sudah terlalu lama berperang. Terlalu banyak darah tertumpah. Anak-anak tumbuh tanpa tahu apa itu masa kecil yang sangat menyenangkan. Mereka hanya tahu dua hal. Hanya tahu senjata dan teror.”
Ia menatap jauh ke arah utara. “Aku kehilangan adikku tahun lalu. Kami diserang saat malam. Mereka bilang dari pasukan utara, tapi aku tidak yakin. Kadang di perang seperti ini, bahkan saudara pun bisa menembak satu sama lain tanpa tahu siapa lawannya.”
Aku menatapnya tanpa bisa berkata apa-apa. Tanganku refleks menepuk bahunya. “I'm sorry, Adam.”
Adam tersenyum lagi, tapi kali ini senyumnya getir. “Tak apa-apa, Iman. Aku sudah berdamai dengan yang satu itu. Aku percaya Tuhan masih punya rencana yang sangat indah untuk kami. Mungkin, referendum besok adalah awalnya.”
Aku menatap cangkir kopiku. Mungkin benar, pikirku. Setiap bangsa punya saat di mana mereka harus memilih jalan sendiri. Mungkin kemerdekaan bukan pemisahan, melainkan bentuk terakhir dari harapan. Mungkin referendum merupakan usaha masyarakat Sudan Selatan untuk memulai dari awal, dengan cara yang lebih adil.
Sore berganti malam. Lampu-lampu di warung mulai menyala redup. Beberapa pelanggan pamit pulang. Adam menatapku. “Ayo, aku antar kau ke tempat penginapan. Konon, jalanan di Juba--malam-malam begini--bisa berbahaya.”