Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #42

Datang saat Kebaktian

Aku kembali ke Tokyo. Kali ini tidak mendarat di rumah Kenichi yang cukup besar sebetulnya. Aku tiba di apartemen Pedro.

Apartemen Pedro ini tak bisa dibilang kecil. Cukup nyaman untuk ditinggali. Tidak hanya untuk seorang diri, melainkan untuk 2-3 orang.

Aku mendarat saat Pedro, dkk, sedang mengadakan semacam kebaktian. Sebastian yang sedang membuang sampah, yang kali pertama menemukan aku. Aku langsung dibawa ke dalam apartemen. Yang sudah ada Kenichi, Pedro, Ignacio, serta Sakura. Siapa sangka Kenichi dan Sakura benar-benar seorang Kristen yang taat.

“Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”

Petikan ayat Alkitab itu dibacakan oleh Pedro dalam bahasa Jepang. Namun, entah mengapa, seperti biasa, di telingaku, itu terdengar diucapkan dalam bahasa Indonesia.

"Pelayanan sejati bukan sekadar kegiatan rohani, tetapi gerakan hati yang menanggung beban sesama. Paulus menulis, 'Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu,' bukan 'bertolong-tolonganlah mengatur sesamamu.'"

Hening.

Begitu Pedro selesai membaca bagian itu, ruangan kecil di apartemennya berubah menjadi hening penuh khidmat. Suara kipas angin yang berdecit pelan, menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar.

Kenichi menutup matanya, menunduk dalam-dalam, sementara Sakura memegang tangannya sendiri, seperti menahan perasaan yang dalam. Ignacio dan Sebastian saling bertukar pandang. Dua mantan kriminal yang kini sedang belajar menjadi manusia baru.

Aku, duduk di dekat pintu, masih belum pulih dari keterkejutanku. Perpindahanku kali ini terasa berbeda. Tidak ada cahaya terang menyilaukan. Tidak ada angin ribut atau rasa sakit yang seperti tersedot oleh dimensi lain. Aku hanya seperti jatuh, lalu tiba-tiba muncul begitu saja di tengah kebaktian kecil itu.

Pedro tersenyum melihatku. “Ah, Iman. Kau tepat waktu. Kami sedang berbicara tentang menolong sesama, dan Tuhan langsung kirim kau lagi ke tengah-tengah kami. Luar biasa!”

Aku tersipu malu. “Haha… aku juga tidak tahu kenapa bisa tiba-tiba muncul di sini, Pedro.”

Pedro menepuk pundakku. “Mungkin Tuhan tahu, ada beban yang perlu kita tanggung bersama.”

Ia lalu berdiri, menatap semua yang hadir. “Saudara-saudaraku, pelayanan sejati tidak lahir dari kekuatan kita sendiri. Kita semua di sini bukan orang suci. Kita orang-orang yang pernah jatuh, pernah gagal, pernah berdosa. Tapi kita memilih untuk tidak berhenti. Kita memilih menanggung satu sama lain.”

Suasana apartemen yang sederhana itu terasa berubah. Seolah temboknya menjadi gereja kecil di tengah Tokyo, kota yang dingin, sibuk, dan individualis.

Setelah kebaktian selesai, kami duduk melingkar di meja makan kecil. Pedro menghidangkan sup sederhana dan roti tawar. Tak ada anggur atau lilin, hanya obrolan hangat yang membuat semuanya terasa seperti keluarga.

Sakura duduk di sampingku. Tatapannya lembut, tapi juga penuh rasa ingin tahu. “Iman, setiap kali kau muncul, kau selalu terlihat seperti baru pulang dari perjalanan panjang. Apa kau… masih berpindah-pindah waktu?”

Lihat selengkapnya