Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #43

Bersama Los Redimidos, Di Theater

Aku masih berada di Tokyo tahun 2020 ini. Sekarang aku diajak oleh Geng Los Redimidos berjalan-jalan hingga ke Distrik Akihabara. Siapa sangka mereka pun menyukai hiburan lokal ala orang-orang Jepang yang kerap diledek sebagai otaku. Mereka pun menyukai musik yang coba diperdendangkan oleh grup idola yang tempat pertunjukannya aku dan mereka dengarkan.

Yang kelihatannya tampak antusias itu malah Ignacio. Sementara Pedro malah sentimental. Ia tadi berkata padaku bahwa salah seorang member mengingatkan dirinya akan sosok adik bungsunya yang sudah meninggal di El Salvador.

Aku tertawa saja. Pedro tak tersinggung dan memilih untuk larut dalam situasi dalam Theater. Kulihat mereka semua. Tampaknya Sebastian, Ferdinand, Ignacio, dan Hector, mereka semua sama-sama menikmati lagu Jepang, meski satu-dua di antara mereka belum fasih berbahasa Jepang.

Suasana malam di Akihabara benar-benar berbeda dari apa pun yang pernah kualami sebelumnya. Neon warna-warni menghiasi setiap sudut jalan, berkedip-kedip seperti denyut nadi kota yang tak pernah tidur.

Orang-orang lalu-lalang di jalanan Distrik Akihabara. Beberapa berpakaian kasual, beberapa lainnya mengenakan kostum karakter anime, dan beberapa lainnya pula tampak seperti baru saja keluar dari dunia virtual. Aroma takoyaki dan ramen menyeruak dari kios-kios jalanan, bercampur dengan suara tawa dan musik pop Jepang yang memancar dari speaker teater di depan kami.

Di antara keramaian itu, aku menatap rekan-rekanku dari Los Redimidos, begitu mereka menyebut diri mereka sekarang.

Los Redimidos. Sebuah nama yang mereka pilih dengan harapan, katanya, agar Tuhan benar-benar menebus masa lalu mereka.

Ignacio yang paling depan, berdiri dengan mata berbinar seperti anak kecil. “Bro, ini gila!” katanya dalam bahasa Spanyol yang setengah berteriak. “Aku tak paham liriknya, tapi melodinya bikin aku merinding!”

Ia bertepuk tangan mengikuti irama, sementara Ferdinand ikut mengangguk-angguk.

Sebastian, yang biasanya paling pendiam, justru kali ini ikut bersorak. “Kau tahu, Iman,” katanya setengah berteriak agar suaranya terdengar di tengah bising musik, “aku kira orang Jepang ini dingin dan tak berperasaan. Tapi lihat mereka. Ah, semangat mereka sungguh hidup!”

Aku hanya tersenyum. Melihat mereka seperti ini, rasanya ada kepuasan tersendiri. Mereka ini orang-orang yang dulu hidup di tengah kekerasan, kemiskinan, dan dosa. Mereka kini menari-nari kecil menikmati konser idola Jepang, rasanya haru pula.

Seolah Tuhan benar-benar ingin menunjukkan bahwa bahkan jiwa yang paling gelap pun bisa menemukan cahaya di tempat yang paling tak terduga.

Pedro berdiri di sebelahku, tak terlalu ikut bersorak. Ia hanya menatap panggung dengan mata sayu. Aku tahu dari raut wajahnya. Sepertinya Pedro sedang mengingat seseorang.

“Dia mirip sekali,” katanya lirih.

“Siapa?” tanyaku pelan.

“Adikku, Valeria,” jawabnya. “Dia dulu suka menari seperti itu, di kampung kami di El Salvador. Kalau kau lihat, cara gadis itu tersenyum, hampir sama persis.”

Aku menatapnya. Tatapan Pedro itu bukan sekadar rindu. Kurasa, ada sesuatu yang lebih dalam di sana.

Aku menepuk bahunya perlahan. “Mungkin Tuhan memberimu kenangan ini bukan untuk membuatmu sedih, Pedro. Tapi untuk mengingatkan bahwa adikmu sudah bahagia di sisi-Nya.”

Lihat selengkapnya