Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #46

Terdampar di Penjara Iran

Kepalaku masih pusing. Yang aku ingat, seharusnya aku masih berada di Tokyo tahun 2020. Aku yang baru saja hendak pulang ke rumahnya Kenichi, dari pertemuan dengan Tobias N'Mecha. Tiba-tiba saja, aku sudah berada di sini. Tadi seseorang berseragam dan berperawakan cukup gagah itu berkata aku sedang berada di Iran.

Aku menarik napas agak panjang. Sekarang aku berada di sebuah... kurasa ini semacam penjara. Aku dikurung bersama beberapa bule ini. Salah satu dari mereka adalah Ian McGonagall. Ia mengaku seorang jurnalis dari Amerika Serikat, meski berdarah Skotlandia. Ia ditangkap mendadak oleh polisi Iran dengan tuduhan melakukan perbuatan yang dianggap terlarang di Iran. Tulisannya dianggap berbahaya oleh pemerintah Iran. Makanya ia dimasukkan ke dalam sel.

"Oh," Ian menepuk punggungku pelabuhan. "you're from Indonesia?"

Aku mengangguk pelan sambil mengusap peluh di dahiku. Udara di dalam sel sempit itu panas, lembap, dan penuh aroma besi berkarat. Di luar, sepatu-sepatu para penjaga terdengar mondar-mandir, ritmis, seolah setiap ketukan sol sepatu mereka adalah pengingat bahwa aku sedang berada jauh dari segala bentuk kebebasan.

Ian McGonagall yang berwajah tegas, berambut cokelat kusam, dengan brewok tipis dan mata setengah letih, menatapku sambil menelan ludah. Ia seperti sedang mencoba memetakan situasi ini secara jurnalistik. Ia terlihat sedang mencatat, mengamati, lalu menyimpulkan.

Yes,” jawabku pelan. “I-I don’t really know how I got here.”

Ian tertawa hambar. “That makes two of us, kid.”

Ia bersandar ke dinding dan menghembuskan napas panjang. “What’s your name?”

“Iman.”

“Iman…” Ia mengulang namaku seperti sedang mencicipi rasa asing dari sebuah bahasa yang bukan miliknya. “That means faith, right?”

Aku mengangguk.

Ian terkekeh, “Well, you’ll need a lot of that in this place.”

Selain kami berdua, ada tiga orang lainnya di dalam sel. Yang pertama adalah seorang pria beruban yang mengaku bernama Johannes, seorang Jerman yang ditahan karena merekam demonstrasi.

Ada juga Farhad, orang Iran sendiri. Farhan mengaku tinggal di Teheran, seorang mahasiswa yang ditahan karena ikut aksi protes terhadap kenaikan harga bahan bakar yang menurutnya, harganya gila-gilaan.

Terakhir, seorang pria Perancis bernama Louis, seorang backpacker yang tersesat di kawasan yang sedang dijaga ketat, lalu dicurigai sebagai mata-mata.

Ya Tuhan… ini seperti reuni orang-orang yang salah waktu dan tempat.

Ian memperkenalkan semuanya satu per satu, seperti pemandu wisata ironis di sebuah neraka kecil.

“Kami sudah di sini selama… hmm… maybe ten days,” katanya sambil mengetuk-ngetuk tembok dengan jarinya. “Satu-satunya hiburan kami adalah menebak kapan makanan datang.”

Louis menyahut dari pojok, “Or guessing who will be interrogated next.”

Kalimat itu diucapkan sambil memijat tengkuknya yang memar.

Aku menelan air liur. “Interrogated? Did they—”

They didn’t beat me,” potong Louis cepat, “but they weren’t gentle either.”

Aku merapatkan tubuhku. Panik mulai merayap di pinggir-pinggir pikiranku. Ini bukan seperti ketika aku berada di Nigeria, atau ketika aku dikepung orang bersenjata. Bukan seperti di El Salvador pula, ketika kartel mengejar-ngejarku. Bukan seperti situasi Konstantinopel atau Kush atau Ramallah. Ini...

....seperti jerat yang benar-benar nyata. Bukan perang, bukan penaklukan, bukan dunia kuno pula. Ini adalah penjara modern, dengan kekuasaan modern, dan hukum moderen, yang tidak selamanya adil. Terkadang, ada pula aku menemukan bukti di masyarakat bahwa hukum bisa dijadikan alat oleh seorang yang lalim.

“Apa yang mereka bilang tentang aku?” tanyaku hati-hati.

Johannes menjawab, “They think you were filming the checkpoint. Someone saw you holding your phone.

Aku menepuk dahiku. Tentu saja. Lagi pula, aku baru selesai bertemu Tobias, aku berjalan pulang, lalu, ada petir kecil memecah udara. Ada pula kilatan cahaya yang seperti portal. Seketika itu, saat membuka mata, aku sudah di sini.

“A—aku bahkan tidak tahu sedang berada di Iran waktu itu,” aku berkata lirih.

Semua menatapku bingung.

Lihat selengkapnya