Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #48

Kala itu, Tahun 1987

Tak terasa aku sudah di Kaliningrad hingga tahun 1987. Dari kemunculan aku kembali di hadapan Tatiana di tahun 1983. Kurasa, banyak hal sudah terjadi. Yah, banyak hal sudah terjadi selama 2-3 tahun terakhir ini. Selama itu pula, aku belum pernah isekai lagi. Aku cukup stabil berada di Kaliningrad era 1980-an. Makin lama aku makin terbiasa dengan tradisi, bahasa, kebudayaan, dan kebiasaan masyarakat setempat.

Banyak hal sudah aku alami. Bersama Tatiana dan Alexei Junior. Aku tersenyum memandangi Alexei Junior. Tergelak saja, yang spontan begitu.

Siapa sangka persetubuhan tidak sengaja saat itu, beberapa hari setelah aku bertemu dengan para pemimpin gereja Ortodoks Rusia tersebut, malah berbuah seorang bayi. Sekarang bayi ini sudah berusia 5 tahun, dan menjelang usianya yang ke-6.

Alexei... rencananya akan mulai disekolahkan. Kakeknya, alias ayah iparku, Alexei Senior, berencana menyekolahkan Alexei ke Moskow. Aku sih tak masalah. Tatiana yang keberatan. Menurut Tatiana, belum saatnya Alexei Junior menempuh perjalanan hingga berpuluh-puluh kilometer. Mengingat jarak Kaliningrad ke Moskow yang lumayan jauh.

Sekonyong-konyong aku teringat kejadian tahun lalu. Tak hanya Uni Soviet, malah hampir seluruh dunia digemparkan oleh sebuah tragedi kebocoran gas di pabrik nuklir Chernobyl. Ternyata ada salah seorang sepupu Tatiana yang terkena dampaknya. Namanya Olga, dan Olga terpaksa mengungsi ke Moskow. Tiga bulan Olga sempat mampir ke rumah kami.

Tahun 1987 ternyata jauh lebih hangat daripada yang pernah kubayangkan tentang Uni Soviet. Bukan karena cuacanya, melainkan karena rutinitas kecil yang tumbuh di rumah kami. Rutinitas sederhana yang tidak pernah kubayangkan akan kumiliki. Bisa sarapan dengan roti hitam, teh manis, suara langkah kecil Alexei Junior yang belingsatan ke dapur sambil membawa mainan mobil kayu, dan Tatiana yang sibuk merapikan rambut kami berdua karena menurutnya, dua laki-laki dalam rumah ini selalu tampil seperti baru bangun tidur. Aku tertawa mengingat kata-kata Tatiana tempo lalu.

Kaliningrad sendiri, ia masih tetap kota yang dingin. Kota ini nyaris selalu penuh kabut asin dari Laut Baltik. Belum lagi, Kaliningrad tahun 80-an terasa seperti dunia yang terjebak antara masa kejayaan Soviet dan aroma perubahan yang perlahan-lahan muncul dari radio, televisi, bahkan bisikan warga di pasar. Perestroika, glasnost, ketegangan perang dingin yang mulai retak, hingga gosip tentang pemimpin negara tetangga. Bahkan Tatiana, yang dulunya tidak terlalu memikirkan politik, sekarang ikut membahas berita-berita itu sambil menjemur cucian.

Namun hari ini, pikiranku melayang ke tempat lain. Ke perdebatan panjang yang belum selesai antara Tatiana dan ayahnya, Alexei Senior.

“Tidak semua anak harus langsung ke Moskow!” Tatiana berseru waktu itu, nadanya menggedor udara. “Alexei masih terlalu kecil!”

Ayah mertuaku, yang dulunya merupakan sosok prajurit tua yang wajahnya masih mungkin bisa menakutkan tank, ia hanya menghela napas panjang, khas pria militer yang terbiasa memerintah, bukan berdebat.

“Tatiana, pendidikan terbaik ada di Moskow,” katanya pelan namun tegas. “Kaliningrad adalah provinsi pinggir. Anak ini… cucuku… harus tumbuh besar dengan kesempatan, bukan keterbatasan.”

Aku berdiri di sisi meja makan, menjadi penengah tak bersuara. Aku mengerti maksud ayah mertua, tetapi aku juga melihat kegelisahan Tatiana. Baginya, Alexei bukan sekadar anak. Alexei adalah seluruh dunia.

“Ayah,” ujarnya, suaranya merendah, “aku tidak siap melepasnya. Belum sekarang…”

Baru kali ini aku melihat air mata di mata Tatiana. Itu cukup membuat ayahnya terdiam lama. Ia memijat batang hidungnya, lalu menepuk pundak Tatiana.

Lihat selengkapnya