Mereka mengaku kapal ini akan berlayar hingga Temasek. Kapal yang aku tumpangi secara mendadak ini bagian dari belasan kapal yang katanya dipimpin oleh salah seorang patih yang disegani di Kerajaan Majapahit. Bukan Gajah Mada, melainkan patih lainnya. Namun, kata, beberapa awak kapal ini, Maha Patih Gajah Mada juga ikut serta dalam rombongan untuk menaklukkan Temasek. Jika Temasek sudah dikalahkan, akan menyeberang ke Semenanjung Melayu.
Sebelum tidur, aku menatap langit malam. Baru saja aku di Kaliningrad. Bermain-main bersama Alexei Junior. Lubang hitam itu datang lagi, dan membawaku ke kapal perang Kerajaan Majapahit, yang siap bertempur.
Aku memperhatikan ke sekujur badanku. Begitu mendarat di kapal ini, aku sudah berpakaian ala para awak kapal. Juga, memahami bahasa mereka. Apakah pula aku akan memahami cara berperang? Setidaknya, mengerti cara memegang lembing atau busur.
Angin laut malam itu terasa lembap dan tajam. Di kejauhan, bulan separuh menggantung rendah di atas cakrawala, seolah ingin mengintip semua rahasia yang sedang terjadi di atas kapal perang Majapahit ini. Kapal tempatku berpijak bergoyang perlahan mengikuti gelombang, namun dalam setiap goyangan itu, aku bisa merasakan berat dan megahnya kapal dari kayu jati ini. Tingginya, lebarnya, dan suara decitan kayu membuatku sadar bahwa aku berada dalam sesuatu yang jauh lebih besar daripada diriku sendiri.
Aku masih ternganga, memandangi cahaya obor yang bergoyang, membiaskan bayangan aneh di wajah para pelaut yang lalu-lalang. Beberapa membawa kendi air, yang lain memeriksa ujung lembing, ada pula yang mengikat ulang tali simpul di bagian-bagian kapal. Mereka semua tampak sibuk, seolah besok adalah hari besar, yang mungkin menentukan hidup mereka.
Kalau melihat ke belakang, aku tadi sore masih berada di Kaliningrad, di ruang kecil milik Tatiana, tempat Alexei Junior memelukku sambil tertawa. Bau roti gandum Rusia yang dipanggang lambat masih terasa samar di hidungku. Bahkan, aku masih mengingat posisi bunga di rambut Tatiana ketika ia membelai bahuku. Lalu, tanpa jeda, tanpa penjelasan, hanya dalam kedipan mata, pusaran hitam itu merenggutku dan melemparku ke sini.
“Wahai prajurit hijau, kau belum tidur?”
Suara serak itu membuatku menoleh. Seorang lelaki paruh baya dengan kain pengikat kepala berdiri memandangiku. Kumisnya tebal, kulitnya gelap terbakar matahari, tubuhnya kekar seperti batang pohon kelapa.
“Aku… belum mengantuk,” jawabku, lidahku menyesuaikan dengan bahasa Jawa kuno yang entah bagaimana langsung mengalir begitu saja.
Lelaki itu mengangguk pelan. “Maklum saja. Prajurit baru biasanya sulit tidur di malam pertama. Apalagi sebelum perang.”
Aku tercekat. Kata “perang” itu terasa menusuk kalbuku.
“Apa… besok kita menyerbu Temasek?” tanyaku hati-hati.
“Bila angin mendukung.” Lelaki itu menyandarkan punggung ke tiang kapal. “Rombongan besar Majapahit sudah berangkat lebih dulu. Kita bagian dari pasukan yang menyisir jalur belakang. Patih Lembu Anabrang memimpin kelompok ini. Dan Gajah Mada… ah, semua orang ingin melihatnya. Konon, ia kini bersemedi di salah satu kapal utama.”
Nama itu membuat bulu kudukku berdiri. Gajah Mada. Tokoh yang selama ini hanya kukenal lewat buku Sejarah, kini berada beberapa kapal dariku. Rasanya tak masuk akal.
Lelaki tadi mengamatiku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Cara kau memegang sabuk itu seperti orang yang belum pernah memegang senjata,” katanya datar.
Aku salah tingkah. Tanganku refleks menepuk gagang keris kecil yang terselip di pinggangku. Padahal aku bahkan tidak ingat kapan benda itu mulai ada di sana.
“Aku baru belajar,” kataku.
Ia tertawa, keras dan tulus. “Tak apa. Kau masih muda. Banyak di antara kami pun belajar bertempur di kapal ini, bukan dari kampung halaman masing-masing.”
Ia menepuk pundakku dan berkata lagi, “Namaku Mpu Rangga. Kau bisa memanggilku Rangga saja.”
“Aku…” aku sempat ragu menyebut nama modernku, tapi entah kenapa lidahku menyebut nama lain otomatis. “Namaku Aji.”
Aku merasa diriku ini robot saja.
Rangga mengangguk. “Aji. Nama yang baik.”