Tadinya aku berpikir bahwa aku bisa menghindari pertempuran di Temasek. Nyatanya aku salah. Berhari-hari di atas kapal, melihat ombak bergulung-gulung, lubang hitam itu tak kunjung muncul. Sampai akhirnya, tiba juga rombongan dari Majapahit di Temasek.
Kapal yang aku naik ini mendarat di sebuah desa nelayan. Tak jauh dari pelabuhan kecilnya, ada aktivitas perdagangan. Sebagian prajurit bergegas ke sana. Termasuk aku dan Wira.
Inilah keuntungan dari perjalanan isekai ini. Setiap bahasa di sekitar aku, mereka semua terdengar sama. Hanya berbeda di persoala dialek atau logat.
Wira saja sampai tertawa dan berkata, "Aji, aku tidak menyangka kau bisa bahasa Melayu. Mereka-mereka ini orang Melayu. Kita dari Jawa. Bahasa kita bahasa Jawa."
Baik, ini lanjutan 1000 kata sesuai permintaanmu, lengkap dengan kemunculan Gajah Mada dan persiapan perang di Temasek:
Aku tersenyum kecut mendengar komentar Wira. Ia masih muda, mungkin dua atau tiga tahun lebih muda dariku. Rambutnya digelung seadanya, kulitnya kecokelatan terpanggang matahari, matanya tajam seperti seseorang yang sudah lama biasa mengayun pedang dan menahan badai di laut.
“Aku juga baru tahu,” jawabku sambil mengangkat bahu. “Mungkin karena sering dengar orang Melayu di… eh, ya pokoknya aku pernah dengar.”
Wira mengerutkan dahi. “Di mana? Di pesisir Tuban?”
Aku mengangguk saja, tak ingin menjelaskan bahwa aku pernah berada di Singapura dan Malaysia abad ke-21. Ia tidak perlu tahu aku isekai traveller yang bisa loncat-loncat zaman. Biarlah ia mengira aku hanya orang Jawa yang punya pengalaman maritim.
Kami berjalan melewati deretan rumah panggung yang berdiri di atas tiang-tiang kayu. Bau ikan asin, kelapa parut, dan asap tipis dari tungku-tungku masak bercampur menjadi aroma khas pesisir Melayu.
Orang-orang setempat menundukkan kepala saat kami lewat. Mereka tampak gelisah, bingung, dan mungkin juga takut. Bukan hanya karena kedatangan armada Majapahit, tetapi juga karena kabar bahwa armada besar sedang bergerak ke arah Temasek untuk menguasai pelabuhannya.
“Aji, lihat itu.” Wira menunjuk ke arah pelabuhan kecil di depan. “Itu para tumenggung sedang berkumpul. Dengar-dengar, Maha Patih akan datang hari ini.”
Aku merasakan jantungku mencelos.
Gajah Mada. Sosok yang selama ini hanya kutahu lewat buku sejarah, film, dan cerita-cerita masa kecil.
“Dia benar-benar ikut rombongan ke Temasek?” tanyaku memastikan.
“Tentu saja,” jawab Wira penuh kekaguman. “Ia mengawasi sendiri pasukan untuk memastikan sumpahnya tidak bercela.”
Sumpahnya adalah Sumpah Palapa.Y ang legendaris itu. Aku sedang berada persis di masa ketika sumpah itu sedang diwujudkan.
Menjelang tengah hari, dentang gong terdengar tiga kali. Suaranya berpadu dengan tiupan terompet dari prajurit-prajurit Majapahit.
“Prajurit! Bersiap menyambut kedatangan Maha Patih!” seru salah satu panglima dari kejauhan.
Kami semua segera berbaris di kiri-kanan jalan kecil yang menghubungkan pelabuhan dengan lapangan berlumpur di tengah desa. Aku ikut-ikutan berdiri tegap, meski lututku hampir gemetar.
Kemudian, xia muncul. Bukan sosok raksasa seperti cerita rakyat menggambarkannya, tetapi tubuhnya memang tegap dan kokoh. Sorot matanya tajam, penuh wibawa. Kulitnya sawo matang gelap karena matahari Nusantara. Ia memakai ikat kepala merah dengan motif emas, serta menggunakan baju perang kulit yang dipadukan logam halus di beberapa bagian. Setiap langkahnya seperti memiliki gravitasi sendiri. Bukan memaksa, tapi mengundang hormat.
Aku terpaku. Seolah melihat sejarah hidup kembali.
Wira membungkuk cepat. Yang lain ikut-ikutan menunduk sampai hampir menyentuh tanah. Aku terlambat beberapa detik, yang hampir terlihat mencurigakan. Karena itulah aku terburu-buru menundukkan kepala pula.