Lubang hitamnya tak kunjung muncul. Mau tak mau, seorang Immanuel Sinaga--alias Aji--turun ke medan pertempuran. Aku terpaksa ikut serta dalam pasukan Majapahit dalam menaklukkan Temasek.
Ternyata aslinya perang itu benar-benar menyeramkan. Lengah sedikit, lutut terkena sabetan lembing atau pedang. Meski, di situlah aku merasakan keanehan. Karena luka itu cepat pulih. Tidak hanya aku yang seperti memiliki program Google Translate dalam kepala, aku pun juga tahan banting. Mudah terluka, tapi cepat pulih. Teman-teman dalam pasukan sampai terheran-heran. Padahal ada beberapa teman-teman yang harus meninggal dunia.
Beberapa hari terlibat dalam pertempuran, ah, itu ternyata tidak sia-sia. Temasek ini akhirnya tunduk juga. Untuk aku sendiri, peperangan selama beberapa hari ini membuat kedua lenganku berotot.
Oh iya, kabarnya kami akan bergegas ke daratan seberang Temasek. Bersiap menaklukkan daerah-daerah di Semenanjung Melayu, yang menurut informasi dari mata-mata kerajaan, daerah-daerah sana jauh lebih sulit.
Hari demi hari aku memandang langit Temasek yang muram ini. Aku harap ada kilau aneh atau pusaran cahaya. Harapan agar aku melanglang buana ke tempat lain itu semakin mengecil. Pada akhirnya, aku harus menerima bahwa seorang Immanuel Sinaga, yang dulunya hanya mahasiswa biasa yang merupakan beban keluarga, kini berdiri sebagai prajurit Majapahit. Yang terlibat perang. Yang harus mengayunkan tombak. Yang harus menghindari tebasan. Anehnya, aku tidak mati-mati.
“Aji! Kananmu!”
Seruan Wira menyentakku saat itu. Aku memiringkan tubuh, dan lembing yang sempat menggores tulang keringku memantul ke tanah. Nyeri itu membakar barang sepersekian detik sebelum perlahan mereda. Dalam hitungan menit, panasnya menyusut. Dalam satu jam, bekasnya hilang.
Aku tidak tahu apakah aku manusia, atau sekadar NPC yang kebal cheat dalam game.
Perang di Temasek berlangsung selama beberapa hari, dan pada malam keempat, pasukan lawan akhirnya menyerah. Tanah lembap yang merah oleh darah bercampur hujan menjadi saksi betapa kerasnya pertempuran itu. Di balik tubuh-tubuh rebah para prajurit, prajurit Majapahit yang masih hidup mengelilingi api unggun.
Sementara mereka merayakan kemenangan, aku masih saja duduk termenung. Lenganku kini lebih berotot, lebih kokoh. Dulu angkat galon air saja sudah terengah-engah, sekarang angkat tameng seperti sedang mengangkat tas belanja.
“Berkatmu, Ji. Kau aneh tapi malah berguna,” canda Wira sambil memukul bahuku. “Luka cepat sembuh, tenaga kuat, dan… entah bagaimana kau bisa paham semua bahasa di sini.”
Aku hanya nyengir. Mana mungkin aku bilang aku terlempar oleh lubang hitam dan punya buff regen healthy point seperti karakter video game?
Kemenangan kami di Temasek rupanya hanya pembuka. Kabar menyebar dari mulut ke mulut. Bahwa Mahapatih Gajah Mada sendiri akan tiba di Temasek. Bersiap untuk memimpin langsung ekspedisi ke daratan Semenanjung Melayu.
Seluruh prajurit, bahkan para perwira, mendadak sibuk membersihkan senjata, merapikan pakaian perang, dan memastikan semua tampak gagah. Wira sampai semalaman tidak tidur demi mengasah kerisnya.
“Wira,” kataku sambil menguap, “kau mau perang atau mau lamaran? Rapi amat.”
“Kau ini tidak paham! Yang akan datang itu Mahapatih Agung! Pemimpin kita! Orang yang sumpahnya mengguncang seluruh Nusantara! Masa kita menyambut beliau seperti pengemis pasar?”
Aku mendengus, tapi diam-diam ikut menyiapkan diri.
Kedatangan Gajah Mada tidak seperti raja atau panglima besar yang dulu kubayangkan. Tidak ada gendang perang. Tidak ada pengumuman megah.
Hanya suara angin laut yang berubah pelan ketika rombongan perahu bercat merah keemasan merapat ke pantai Temasek.
Kami, seluruh prajurit, berlutut. Langkah-langkah berat lalu turun ke pasir. Matahari sore memantulkan bayangan seorang pria berperawakan tegap. Wajahnya keras, tidak mudah ditebak apakah ia sedang marah, diam, atau berpikir. Sorot matanya tajam, seperti mampu menembus siapa pun yang ia tatap. Sosok itulah Gajah Mada.
Saat ia melangkah melewati barisan prajurit, seolah-olah udara berubah. Ada sesuatu dalam dirinya. Gajah Masa sungguh berwibawa yang tak bisa dijelaskan dengan bahasa mana pun. Bahkan napas para prajurit ikut menahan diri.
Lalu matanya berhenti padaku. Aku membeku. Sejenak ia menatapku tanpa berkedip, seperti membaca sesuatu yang tidak seharusnya ada dalam tubuh seorang prajurit rendahan. Aku merasa seluruh tubuhku sedang ditimbang, dikira-kira, hingga ditelanjangi secara mental. Bulu kudukku berdiri seketika.
Namun Gajah Mada hanya mengangguk tipis sebelum berjalan lagi.