Kapal yang aku tumpangi, mendarat juga di pelabuhan yang menurut aku cukup besar. Melihat arak-arakan kapal yang di dalamnya terdapat orang-orang berbaju perang seperti ini, tak heran masyarakat setempat ketakutan. Satu-dua anak kecil bergidik. Salah satu kru kapal mengusahakan diri agar tidak menakuti-nakuti warga setempat. Bahkan ada salah seorang rekan, sambil memegang lembing, coba berbaur dengan pura-pura membeli di salah satu stan yang ada.
Aku pun ikut temanku tersebut. Kudekati salah seorang yang sedang berdagang ikan. Dengan kemampuan translasi gaib ini, aku bertanya berapakah harga ikan yang dijual.
Lucu juga, meski agak miris melihatnya. Pedagang itu terlihat ketakutan. Takut dengan aku yang membawa lembing? Atau, takut dengan kapal-kapal tersebut? Atau, takut karena apa?
Pedagang ikan itu menunduk gemetar sambil menjawab pertanyaanku dengan suara pelan. Matanya terus melirik ke arah kapal-kapal Majapahit yang memenuhi pelabuhan yang ada di Semenanjung Melayu ini. Aku baru sadar, bagi mereka, kami ini bukan sekadar pendatang. Kami adalah ancaman yang datang dari laut, membawa perang, perintah tunduk, dan kemungkinan pertumpahan darah.
Aku tersenyum kikuk, berusaha terlihat ramah, lalu berkata, “Tidak usah takut. Aku hanya bertanya.”
Namun pedagang itu malah makin pucat, seolah salah bicara sedikit saja bisa membuatnya dipancung di depan umum. Dengan tangan gemetar, ia memberikan sepotong ikan kecil, seperti semacam tanda menyerah, tanda tunduk.
Wira menepuk bahuku sambil tertawa pelan.
“Ha! Kau lihat? Mereka kira kau perwira tinggi. Mungkin karena posturmu, dan wajahmu bukan orang sini tampaknya.”
Aku menghela napas. Memang kenapa dengan posturku? Aku tidak terlalu tinggi malah. Hanya sekitar 163 centimeter.
“Seandainya mereka tahu aku bahkan tidak punya pangkat.”
Namun belum sempat aku mengembalikan ikan itu, terdengar teriakan dari tengah pelabuhan. Para prajurit Majapahit langsung berhenti bergerak. Para pedagang dan nelayan menunduk serentak. Angin seperti ikut berhenti berembus.
Dari kejauhan terlihat seseorang turun dari kapal utama. Seseorang yang auranya begitu kuat, hingga tanpa ada yang memperkenalkan pun aku tahu siapa dia.
Wira berbisik, wajahnya berubah hormat, “Itu… Maha Patih… Gajah Mada.”
Ternyata legenda itu benar-benar berdiri di hadapanku. Tidak sekadar nama dalam buku sejarah. Pun, tidak sekadar sumpah Palapa yang aku hafal waktu sekolah. Ia benar-benar nyata, yang langkahnya saja membuat dada bergetar.
Gajah Mada berjalan tegak, mengenakan pakaian perang dengan simbol kerajaan. Tatapannya tajam dan penuh kalkulasi. Ada ketenangan dalam sorot matanya, seperti seseorang yang telah melihat masa depan dan tahu ia akan memenangkannya.
Aku menelan ludah.
Wira segera menunduk.
Para prajurit berlutut.
Namun, yang membuatku semakin gugup, Gajah Mada malah berhenti tepat di depanku.
Ia menatapku lama, seolah membaca sesuatu dalam diriku.
“Aku belum pernah melihatmu dalam pasukanku sebelumnya,” katanya dengan suara berat.
Aku nyaris tidak bisa mengeluarkan suara.