Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #53

Peperangan di Tanah Melayu

Angin pagi di pesisir Semenanjung Melayu terasa lebih getir dibanding Temasek. Pasirnya lebih kasar, dan suara ombaknya seperti bunyi peringatan yang diulang-ulang: kalian tidak akan diterima di sini. Itulah yang kurasakan ketika kakiku kali pertama menjejak daratan ini bersama barisan prajurit Majapahit.

Sampan-sampan kecil berseliweran membawa pasukan tambahan. Para prajurit turun dengan wajah penuh tekad, sebagian dengan wajah pucat karena mabuk laut. Aku sendiri berdiri tegap, lembing di tangan, dada berdebar-debar. Bukan karena takut, melainkan karena aku sadar bahwa semakin jauh aku melangkah, semakin samar kemungkinan kembali ke dunia asalku.

Namun perintah tetap perintah. Bagaimanapun, harus tetap dijalani.

Kami tiba di tempat yang oleh para bhayangkara disebut sebagai jalur menuju daerah-daerah kekuasaan kerajaan-kerajaan kecil di Semenanjung: Pahang, Kelantan, Terengganu, dan lainnya. Kata mereka, beberapa kerajaan di sini keras kepala, enggan tunduk kepada Majapahit.

“Di Temasek, kau sudah membuktikan dirimu,” kata Wira sambil menepuk bahuku. “Sekarang tinggal lihat apakah kau bisa bertahan di medan yang lebih liar.”

Aku mendengus. “Aku bahkan tidak tahu kenapa kita harus menaklukkan wilayah sejauh ini.”

Wira mengedikkan bahu. “Tanya Gajah Mada kalau berani.”

Kami mendirikan perkemahan besar tidak jauh dari pantai. Perkemahan itu dipenuhi bendera Majapahit yang didominasi oleh warna merah dan emas. Bendera itu berkibar angkuh seperti lidah api yang menantang langit. Saat matahari mulai naik, seorang perwira memberi aba-aba agar seluruh pasukan berkumpul. Ada bisik-bisik yang beredar sejak pagi bahwa seseorang yang sangat penting akan datang.

Ternyata itu benar. Ketika rombongan berkuda memasuki kawasan perkemahan, seluruh prajurit serempak menunduk. Suara langkah-langkah berat dan kokoh terdengar menghentak tanah. Aku mendongak sedikit. Di tengah rombongan itu, seorang pria berpakaian prajurit tinggi pangkat turun dari kudanya.

Gajah Mada. Mahapatih itu terlihat jauh lebih muda daripada gambaran di buku sejarah. Sikapnya tegak, matanya tajam seperti mata elang yang mengamati mangsa, dan suaranya dalam tapi jelas dan begitu berkharisma. Suara itu bahkan mampu menembus keramaian tanpa harus berteriak.

“Prajurit Majapahit!” serunya.

Semua punggung menegang. Bahkan angin pun seakan berhenti berembus.

“Di tanah ini, kita bukan hanya penakluk. Kita adalah pembawa tatanan. Di sini terdapat kerajaan-kerajaan yang menolak tunduk, padahal hubungan antara mereka dan Majapahit telah lama tercatat dalam sejarah nenek moyang kita. Namun mereka memilih membangkang.”

Ia berhenti sejenak, memerhatikan seluruh pasukan. Matanya menyapu barisan. Sungguh aku bisa bersumpah ia berhenti sebentar padaku. Entah kenapa.

“Kita akan bergerak ke utara. Pertempuran mungkin tak terhindarkan. Aku tidak akan menjanjikan bahwa kita semua kembali hidup.”

Suara Gajah Mada tidak gemetar sedikit pun. “Tapi aku menjanjikan bahwa nama kalian akan dikenang.”

Sorakan keras menggema memenuhi udara. Aku sendiri tidak ikut bersorak. Ada sesuatu dalam dadaku yang berat. Itu seperti ada kebenaran yang ingin mengalir keluar tapi tertahan. Apakah aku adalah bagian dari sejarah yang kuceritakan dulu? Atau bagian dari sejarah yang harus kuhancurkan?

Latihan perang dimulai tidak lama kemudian. Kami dibagi menjadi tiga kelompok: pasukan lembing, pasukan perisai, dan pasukan pemanah. Aku ditempatkan kembali di barisan lembing karena gerakanku dianggap cepat dan presisiku meningkat drastis sejak Temasek. Mereka tidak tahu bahwa aku setengahnya mengandalkan naluri asing yang entah berasal dari mana.

Latihan dibuat seolah kami sedang diserang dari tiga arah. Bentakan para pemimpin pasukan menggema:

Lihat selengkapnya