Ah, sialan!
Aku tidak tahu harus senang atau bagaimana. Haruskah aku kesal?
Lubang hitam itu memang datang, yang disertai angin ribut dan gempa bumi kecil, di tengah-tengah pertempuran antara Majapahit dan kerajaan setempat. Lubang itu hitam itu menyedot aku hingga aku akhirnya tiba di Nigeria. Bukan di tempat sebelumnya, melainkan di tempat lainnya.
Kedua mataku mengedarkan pandang ke sekeliling aku. Rumah yang aku datangi ini lumayan kecil. Anak pemilik warung mi ini mengaku bernama Ugochukwu N'Zogbia. Ugo, panggilannya, sepertinya sepantaran dengan aku.
Ugo tertawa dan menyodorkan aku semangkok mi dan mi-nya itu menggunakan mi yang mereknya berasal dari Indonesia. Entah kenapa aku senang sekali.
Kata Ugo, "Makanlah. Dan, tahukah, Iman, gara-gara merek mi ini, sampai sekarang pun aku masih ingin mengunjungi Indonesia? Ingin melihat pabrik ni ini di sana. Kalau yang di negara ini, berhubung ayahku pernah bekerja di pabriknya dan sering mengajakku, aku tak penasaran lagi."
"Lalu," Aku mulai menyeruput mi. "kenapa tak bekerja lagi?"
Ugo tersenyum dan berkata, "Ceritanya panjang. Oh, memangnya seberapa kenal kamu dengan negara ini?"
Aku menggeleng dan menjawab dengan mulut penuh, "Yang aku tahu negeri ini sering dilanda perang sipil. Ada yang namanya Boko Haram. Negara penghasil minyak bumi juga, tapi kondisinya tak jauh berbeda dengan Indonesia, yang rawan korupsi."
Ugochukwu terdiam sesaat, lalu tertawa pelan.
“Wah, kamu tahu cukup banyak,” katanya sambil menyandarkan punggung ke dinding kayu yang setengah lapuk. “Tapi Nigeria tidak sesederhana itu. Negara ini besar, Iman. Sangat besar. Dan kadang… terlalu besar untuk dipahami.”
Aku mengamati wajahnya. Ada garis-garis lelah, meski ia masih muda. Ada sesuatu yang disembunyikannya. Entah itu kesedihan, atau kemarahan yang lama dipendam.
“Apa maksudmu, Ugo?” tanyaku.
Ia menghela napas panjang. “Ayahku memang pernah bekerja di pabrik mi itu. Sebuah perusahaan asing yang buka cabang di sini. Gajinya lumayan, kami bisa hidup. Sampai suatu hari terjadi ledakan. Tidak besar, tapi cukup untuk menghancurkan beberapa mesin. Beberapa pekerja tewas.”
Sejenak Ugo berhenti berkata-kata. Ia seperti menahan suaranya. “Ayahku salah satunya. Salah sayi korban yang tewas. Warung mi ini dibangun dari uang sumbangan dari perusahaan itu, Iman.”
Aku meletakkan sendok. Ada rasa getir di tenggorokan.
“Maaf,” kataku lirih.
Ugo tersenyum hambar. “Bukan salahmu. Setelah itu, perusahaan pindah dari kota ini. Banyak yang kehilangan pekerjaan. Kemiskinan makin parah. Dan… Boko Haram mulai sering muncul dari arah utara. Banyak keluarga mengungsi ke selatan. Termasuk kami.”
Aku terdiam. Dunia yang aku datangi secara acak ini sepertinya tak pernah habis masalah. Dari peperangan Majapahit, penyanderaan di Iran dan Sudan, kini aku terdampar di negeri yang punya jenis perangnya sendiri. Untuk yang ini, perang dengan kemiskinan.
Aku menghabiskan mi itu perlahan. Entahlah, rasanya seperti pulang, meski aku sedang di Nigeria. Rasa mi instan Indonesia itu menampar nostalgia yang tak bisa kusebutkan satu per satu.
Ugo bangkit berdiri. “Ayo, ikut aku. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.”
Kami keluar dari warung kecil itu. Jalanan penuh tanah merah yang kering. Anak-anak berlari sambil menendang bola plastik. Di kejauhan, pasar tampak ramai. Mereka mengenakan warna-warna kain yang mencolok. Terdengar di telinga aku, suara teriakan pedagang. Masuk ke lubang hidungku, aroma daging panggang dan rempah yang menusuk hidung. Nigeria punya kehidupan yang liar, tapi hangat.
Kami berjalan menyusuri gang, hingga tiba di sebuah lapangan tanah lapang. Anak-anak sedang bermain bola menggunakan gawang dari batu bata.
Ugo menunjuk mereka. “Itu adikku, Chisom.”
Seorang anak kecil berkaki kurus tapi penuh energi yang menendang bola sekeras yang ia bisa.
“Dia bercita-cita jadi pemain bola,” kata Ugo.
Aku tersenyum. “Bagus, dong. Mungkin dia bisa jadi seperti Nwankwo Kanu atau Jay Jay Okocha”