Aku mengikik. Pun, aku jatuh di bangku gereja. Di sebelahku, duduk seorang yang tadi mengaku bernama Michael, seorang Kristen Koptik dan kelahiran Kairo. Aku tiba di tahun 2014, di Mesir, tepatnya lagi di sebuah gereja Kristen Koptik, dan gereja ini sedang melangsungkan misa minggu.
Anehnya lagi, untuk perjalanan kali ini, hanya Michael yang sadar keberadaan aku yang tiba-tiba muncul. Umat-umat lainnya mengira aku adalah salah satu kerabat Michael yang datang terlambat ke misa. Lucu!
Aku terkekeh-kekeh saat sudah meninggalkan misa tadi. Kini aku bersama Michael di sebuah warung lokal. Aku dibelikan Michael kuliner khas Mesir. Katanya, enak. Sambil menunggu, tadi ia bercerita, saat aku datang mendadak, ia baru saja bermimpi berkenalan dengan seorang pria Indonesia dan memiliki ciri-ciri fisik seperti aku. Aku langsung terperangah mendengarkan ceritanya.
"Iman," ujar Michael minum tehnya. "andai kau perempuan, mungkin aku sudah mengira kau itu jodohku. Sayangnya aku gula terlalu suci untuk menjadi penyuka sesama jenis."
Spontan aku terbahak. Aku pun masih menyukai perempuan. Kadang aku merindukan Tatiana. Kadang pula memikirkan Sakura atau temannya, Tomomi. Bahkan aku pun merindukan Eliza di Tel Aviv. Aku 100%straight.
Aku langsung meneguk teh panas di depanku, mencoba menstabilkan pikiran setelah kejadian-kejadian absurd dalam seminggu terakhir. Ada peperangan Majapahit, juga kisruh di Nigeria, dan kini Mesir. Tepatnya Mesir tahun 2014, di tengah masa pergolakan politik dan serangan terhadap gereja-gereja Koptik.
Sungguh, kalau ada penghargaan “Manusia yang Paling Sering Dipindahkan ke BeberapaTempat oleh Lubang Hitam”, aku pasti juaranya.
Michael memandangku sambil tersenyum geli, seolah ia sedang berbicara dengan temannya sendiri yang baru pulang dari liburan ke Bali. Padahal aku baru keluar dari pertempuran abad ke-14 lalu tersedot pusaran misterius.
“Jadi, Iman,” katanya sambil menaruh gelas tehnya, “kau benar-benar tidak tahu bagaimana bisa berpindah tempat seperti itu?”
“Tentu tidak,” jawabku. “Kalau aku tahu, aku sudah jual tutorialnya di TikTok atau YouTube”
Michael tertawa keras. “TikTok? Apa itu? Kalau YouTube, aku tahu itu. Adikku kecanduan menonton drama-drama Turki atau Nollywood di sana.”
Aku menatap wajahnya. Ia berkulit kecokelatan khas Timur Tengah, rambut hitam keriting, dan mata hangat yang tampak selalu siap diajak bercanda. Dia tampak lebih muda dibanding perkiraanku, mungkin usia dua puluhan akhir.
“Kau Koptik asli?” tanyaku.
Michael mengangguk. “Koptik sejak lahir. Orangtuaku juga. Gereja itu—” ia menunjuk ke arah gedung batu beratap kubah merah tak jauh dari warung “—adalah tempat aku dibaptis.”
Kami diam sejenak. Pelayan warung datang membawa sepiring koshari, campuran makaroni, kacang lentil, nasi, bawang goreng, saus tomat, dan cuka. Aromanya membuat perutku berdendang.
“Cobalah,” kata Michael.
Aku menyendok, memasukkan sesendok besar ke mulut.
“Hmm… enak juga! Seperti penganan nasi uduk di tempat aku, tapi dikombinasikan dengan spaghetti,” komentarku.
Michael langsung tergelak hingga hampir tersedak. “Kau ini manusia aneh, Iman.”
“Aku juga bingung kenapa begini.”
Percakapan kami mengalir. Michael bercerita tentang tahun-tahun sulit di Mesir. Mulai dari revolusi, jatuhnya Mubarak, lalu adanya pemerintahan singkat Mursi, dan ketakutan minoritas Koptik yang sering dijadikan obyek serangan dari oknum-oknum tertentu.
“Kadang aku bertanya,” kata Michael dengan nada lebih pelan, “kenapa Tuhan membiarkan kami dikejar-kejar hanya karena salib ini?” Ia menunjuk kalung kecil di dadanya.
Aku menatapnya. “Di negeri aku, orang juga kadang dibenci hanya karena beda suku atau beda agama. Rasanya sama saja, Michael. Membuat hati pedih dan jengkel ke ubun-ubun.”
Michael terdiam. Suasana warung berubah sunyi, hanya terdengar suara wajan dari dapur belakang.