Dunia menjadi gelap. Semuanya berputar. Suaranya lenyap. Hingga aku pun terlempar lagi ke negara ini. Aku tiba di Palestina lagi. Kali ini bukan di Ramallah, melainkan di Betlehem. Sepertinya beberapa warga sedang sibuk mempersiapkan Natal di tanah yang katanya kelahiran Yesus atau Isa ini.
Sekarang ini aku berada di rumah Zinedine, dan dia mengaku keluarganya penganut Druze, komunitas paling minoritas di sini. Ayah dan ibunya Zinedine ramah sekali padaku. Teh buatan ibunya pun enak.
"Oh, jadi kamu seorang Kristen?" tanya Zinedine tampak antusias. "Dari Indonesia? Wah, kemarin ayahku ini, dia sempat menjadi pemandu wisata bagi orang-orang Kristen Indonesia yang berwisata rohani ke Yerusalem. Kadang ada juga yang mampir ke Betlehem ini, Iman."
Ayahnya, Salahuddin, tertawa terbahak-bahak, "Kau ini, Zinedine... hahaha... begitu membanggakan ayahmu ini. Yang dia bilang tak salah. Yah, namanya juga cari uang, dan iri bukan sesuatu yang jahat juga. Aku bisa bahasa Inggris kupraktikkan, lalu paham juga sejarah kota ini, lalu ada tawaran yang memberikan uang. Kenapa tidak kuambil?"
Berikut lanjutan cerita 1000 kata, sesuai alur yang sudah kamu tetapkan.
Betlehem sore itu terasa jauh lebih hangat dibandingkan Ramallah. Mungkin karena aroma roti panggang yang keluar dari banyak rumah di gang-gang sempit. Mungkin karena suara anak-anak yang tertawa sambil menyiapkan hiasan Natal sederhana. Atau mungkin karena kehangatan keluarga Zinedine, yang terasa seperti rumah meski aku baru mengenalnya beberapa jam.
Aku menyesap teh yang diberikan ibu Zinedine. Rasanya manis, harum, tapi ada sedikit rasa pahit di ujung lidah. Itu mungkin dari daun herbal yang mereka campurkan.
“Ini teh khas kami,” kata ibunya, Samantha, sambil tersenyum. “Tidak banyak orang luar yang menyukainya, tapi kamu terlihat menikmatinya.”
Aku mengangguk. “Enak sekali. Mirip jamu, tapi lebih lembut.”
Salahuddin, ayah Zinedine, menepuk bahuku. “Kau cocok tinggal di Palestina, Iman. Kau bisa makan apa saja. Bisa minum apa saja. Aku yakin kau juga bisa tidur di mana saja.”
Aku terkekeh. “Percayalah, Pak… selama beberapa bulan ini aku sudah tidur di tempat-tempat yang bahkan sulit dijelaskan.”
“Tiba-tiba muncul, tiba-tiba hilang?” celetuk Zinedine.
Aku melongo. “Kau tahu juga?”
Zinedine mengangkat bahu. “Kau muncul begitu saja di depan rumahku, Iman. Dan saat kau datang, aku habis mimpi ketemu orang Indonesia bernama ‘Immanu…’”
Zinedine langsung mengerutkan dahi. “Entah kenapa nama di mimpi itu tidak lengkap.”
“Immanuel?” tebakku.
“Ya!” Zinedine langsung menunjuk aku. “Itu dia! Nama itu!”
Aku terdiam. Ini sudah keempat kalinya seseorang mimpi sebelum aku datang ke dunia mereka. Ignacio di Timor bermimpi tentangku. Ugo di Nigeria bilang yang mirip-mirip. Michael di Kairo juga mengalaminya. Kini Zinedine pun mengalaminya juga. Aku merasa istimewa sekali.
Apakah ini efek samping dari lubang hitam itu? Atau ada sesuatu yang menghubungkanku dengan setiap dunia yang kudatangi?
“Iman?” tanya ibu Zinedine menyentuh lenganku. “Kamu pucat sekali. Apa kamu tidak apa-apa?”
Aku tersentak sadar. “Oh, tidak apa-apa, Bu. Hanya sedikit lelah.”