Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #57

Terlibat Kekisruhan di Kunduz

Ledakan berikutnya mengguncang tanah di bawah kakiku. Suara gemuruhnya terasa menembus tulang. Aku spontan menunduk, menutup kepala dengan kedua tangan meski tentara tadi sudah kembali menarik lenganku.

Oh iya, kukira awalnya mereka ini pasukan perdamaian PBB.

“Ayo! Ayo!!” serunya marah, bukan karena benci, tapi karena panik.

Aku tersandung batu-batu gurun yang berserakan, sementara panas matahari memukul seperti palu raksasa. Wajahku rasanya terbakar. Telingaku berdenging hebat.

Afganistan. Aku benar-benar di Afganistan.

“Nama siapa?” tanya tentara itu tanpa menoleh, masih menyeretku menyusuri jalanan sempit di antara bangunan hancur.

“Iman!” teriakku agar terdengar.

“Iman? Dari negara mana?!”

“Indonesia!”

Tentara itu mendengus, seakan tak percaya. “Hah! Pantas sekali. Terdengar dari logatmu. Kenapa kau bisa ada di sini?!”

Aku benar-benar ingin menjawab, Aku ini pelancong waktu yang bisa terpental seenaknya. Namun siapa yang akan percaya? Mau diceritakan pun rasanya konyol setengah mati.

“Aku… tersesat,” jawabku singkat.

Ia mendengus frustrasi. “Ya, kurasa semua orang di kota ini juga tersesat!”

Lalu kami sampai di sebuah reruntuhan bangunan bekas toko. Tentara itu mendorongku masuk. Aroma asap, debu, dan logam panas bercampur tajam menusuk hidung.

Di dalam sudah ada beberapa orang bersembunyi: seorang perempuan tua, dua anak laki-laki, dan satu lelaki dewasa dengan lengan dibalut kain berdarah. Mereka menatapku dengan campuran takut dan bingung.

Tentara PBB tadi menurunkan helmnya sedikit, mengatur napas. “Namaku Amer. Kau tetap di sini sampai aku bilang aman.”

Aku mengangguk, tak ada pilihan.

Amer lalu berbicara cepat dalam bahasa Inggris kepada pria dewasa yang terluka di sudut ruangan. Mereka saling memahami, meski tampak sama-sama lelah dan putus asa.

Di luar suara dentuman terus berlanjut. Pesawat tempur melintas. Bayangannya saja membuat dinding-dinding yang rapuh bergetar. Anak-anak di ruangan mulai menangis lirih.

Aku menelan ludah. Wajar mereka takut. Bahkan aku yang sudah bolak-balik nyangkut di masa lalu berbagai negara pun tetap terasa ingin pingsan.

Amer duduk di sampingku. Napasnya masih berat.

“Kau pasti syok,” katanya datar. “Oh iya, ini distrik Kunduz. Aku pikir kau sudah dengar tempat ini sering menjadi pusat konflik.”

Aku mengangguk. “B-bagaimana… bagaimana keadaan warga di sini?”

“Buruk,” jawabnya tanpa basa-basi. “Tapi kami berusaha melindungi seberapa banyak yang kami bisa.”

Ia menepuk helmnya. “Kau bukan kombatan. Jadi tugasku menjaga kau tetap hidup.”

Entah kenapa, ucapan itu membuatku ingin tertawa dan menangis sekaligus. Aku ingin bilang, Aku bahkan tidak berada di linimasa yang tepat. Namun tentu saja, tetap kusimpan sendiri.

“Amer…” panggilku pelan. “Kau sendiri dari mana?”

Lihat selengkapnya