Aku berdiri terpaku. Angin Istanbul sore itu terasa sejuk, tapi tubuhku masih ribut dengan sisa-sisa ketegangan dari zona perang Afghanistan yang belum lima menit berlalu. Nafasku naik turun, dada terasa sesak. Baru saja aku di tengah ledakan, lalu sekarang… syuting?
“Hey, are you okay?” pemuda Turki di sebelahku menepuk bahuku. Namanya tadi sempat kusebutkan dalam hati?Benar tadi dia itu Gracia?
Perempuan tadi terlihat ramah. Kulitnya putih nan terawat. Hidungnya mancung. Kedua matanya sipit, mengingat dia keturunan Tionghoa. Rambutnya pendek sebahu. Ia tersenyum kecil, tapi matanya terlihat waspada, seolah sedang menilai kondisi mental orang asing yang tiba-tiba muncul. Mungkin ia kaget bisa bertemu dengan seorang laki-laki dengan tipikal wajah khas orang Indonesia di Turki.
“O-oh iya, aku baik-baik saja,” Jawabanku terdengar seperti kebohongan yang bahkan aku sendiri tak percaya.
“Bagus,” katanya. “Karena kalau kamu roboh, polisi Turki bisa mengira kamu mabuk atau mengalami serangan panik.”
Serangan panik. Ya Tuhan, mungkin itu yang harusnya aku rasakan sejak tadi.
Api, bom, darah. Tiba di Majapahit, Mesir, hingga Nigeria. Melihat perayaan Natal di Betlehem. Ada damai, perang, damai, perang, dan...
Semua itu terjadi hanya dalam hitungan jam. Atau menit? Atau detik? Aku bahkan tak yakin lagi bagaimana cara waktu bekerja padaku.
Aku memijit pelan pelipisku.
Selanjutnya, di depanku, sekelompok kecil kru sedang menyiapkan kamera. Seorang perempuan berambut panjang memakai coat krem sedang berdialog dengan seorang kameramen. Di sebelahnya, seorang perempuan lain—lebih pendek, rambutnya hitam pekat, tatapannya sangat intens—sedang mengecek naskah atau catatan di ponsel. Perawakannya familier.
“Saya merasa pernah lihat dia rasanya,” gumamku.
“Yang mana?” pemuda Turki itu mengernyit.
“Yang itu,” aku menunjuk perempuan berbaju krem. Ke arah perempuan yang aku duga, Gracia.
“D-dia…" kataku gugup dan penuh keraguan. "Yah, dia memang member idol group Indonesia. JKT48 namanya. Seingatku... argh, aku lupa lagi... "
Pemuda itu tertawa. “Kau bicara seperti pengamat budaya pop yang tersesat, Kawan.”
Aku mengucek wajahku sendiri. “Aku… mungkin memang tersesat.”
Kamera mulai merekam. Perempuan itu mulai berbicara dalam bahasa Indonesia. Bahwa aku semakin yakin dia adalah salah satu member JKT48, dan ini terjadi di Juni 2021. Logatnya khas. Senyumnya khas. Cara ia mengatur rambut di balik telinga kirinya pun khas sekali. Kalau saja memoriku tidak porak-poranda akibat perpindahan lintas realitas ini, mungkin aku bisa menyebut namanya.
Tiba-tiba, pemuda Turki itu bertanya, “Namamu siapa?”
“Iman.”
“Nama lengkap?”
“Immanuel…” Aku terhenti sejenak. “Sembiring.”
Ya, itu nama yang kubawa terakhir kali sebelum semuanya kacau. Atau… Sinaga? Atau… ah, apa bedanya? Dunia-dunia yang kusinggahi seolah-olah memetakan ulang identitasku.
“Ah, orang Sumatera, ternyata,” katanya paham. "Batak, kan, itu?"
Aku menatapnya heran. “Kau tahu?”
“Iya. Aku punya teman orang Batak yang jual bakso di Fatih. Bahasa Indonesianya lancar.”
Lalu ia menunjuk ke arah jalan ramai yang menurun. Katanya lagi, “Kalau kamu lapar, kita bisa ke sana.”
Aku belum sempat menjawab saat tiba-tiba salah satu kru mengambil jeda syuting, dan perempuan berbaju krem itu menoleh ke arah kami. Tatapannya jatuh ke mataku.
Aku membeku seketika. Bukan karena kecantikannya. Karena itu sudah sangat jelas. Gracia memang salah satu member yang kupuja kecantikannya. Biar rambutnya dipotong pendek, ia masih terlihat cantik. Bukan karena senyumnya, melainkan seperti ada sesuatu di matanya.
Seolah dia mengenaliku. Padahal aku yakin ini pengalaman pertama aku berjumpa dengan Shania Gracia. Bukan di Jakarta, melainkan di Turki. Saat ia sedang syuting.