Aku masih di Svalbard. Belum ada tanda-tanda akan isekai lagi. Lagi pula, sudah seminggu ini, aku tinggal di apartemennya Gunnar. Aku tinggal, sekaligus membantu pekerjaan Gunnar di tambang. Berat, tapi menyenangkan juga, meski tugasku hanya mencatat. Gunnar pula yang memintaku hanya mencatat, dan tidak melakukan pekerjaan yang berat-berat.
Malam ini apartemennya kedatangan seseorang dari Finlandia. Dia itu salah satu kerabat jauh Gunnar dari Finlandia yang masyarakat sana sering menyebut negaranya sebagai Suomi. Nama kerabatnya Gunnar itu adalah Kimi.
Aku sempat terpingkal dengan nama tersebut. Dalam bahasa Jepang, "kimi" berarti kamu. Namun, ternyata "kimi" merupakan nama depan yang sering digunakan di Finlandia. Kimi pun tak marah dengan guyonanku tadi.
Obrolan berganti dengan topik tentang Indeks Kebahagiaan Dunia. Finlandia masuk ke dalam daftar 10 Besar Negara Paling Bahagia. Kimi segera membantah dan tertawa terbahak-bahak.
"Ah, tidak juga," kata Kimi nyengir dan mengusap-usap ujung hidungnya. "Aku dan masyarakat Finlandia justru tidak terlalu senang dengan status tersebut. Dan, tidak juga. Di negara kelahiran aku itu, ada juga orang-orang yang muram, apalagi kalau cuacanya sedang tidak hangat. Lagi pula, percayalah, Iman, kebahagiaan itu sebetulnya kita sendiri yang menciptakannya. Kita ingin bahagia, kita ingin marah, kita ingin berlarut-larut dalam kesedihan, itu semua berada di tangan kita."
Aku mengangguk-anggukkan kepala, tersenyum pula.
Gunnar mendengus sambil menuang kopi panas ke tiga cangkir enamel yang sedikit penyok di bagian bibirnya. “Kimi ini selalu sok bijak kalau sudah di luar Finlandia. Kalau di rumahnya, mukanya kusut tiap hari seperti habis kehilangan renang musim panas.”
Kimi menjitak lengan Gunnar. “Hei! Jangan buat aku tampak buruk di depan tamumu!”
Aku tertawa kecil. Suasana apartemen ini hangat sekali. Ini bukan hanya karena perapian, tapi karena kehadiran kedua pria Nordik yang aneh, kocak, tapi ramahnya bukan main. Jendela kecil di belakang kami memperlihatkan pemandangan Svalbard di malam hari. Sebuah pemandangan langit nan pekat, yang ada semburat hijau aurora sesekali melintas, dan salju yang seperti tidak pernah berhenti turun.
“Jadi, Iman…” Kimi menyeruput kopinya. “Kau sudah berkeliling dunia, katanya. Gunnar bilang kau ini seperti… apa tadi istilahnya?”
Sekonyong-konyong Kimi menoleh ke arah Gunnar.
“Interdimensional hitchhiker,” sahut Gunnar tanpa menoleh, sambil memasukkan kayu baru ke perapian. “Pendatang antar-waktu. Orang yang hilang dari masa depan. Terserah apa pun istilahnya—yang jelas dia muncul seminggu lalu tanpa jaket musim dingin dan hampir beku seperti es krim Finlandia.”
“Hei!” protesku. “Aku juga tidak minta tiba-tiba jatuh dari langit salju!”
Mereka berdua tertawa bersamaan.
“Ceritakan lagi,” pinta Kimi. “Tapi bukan yang seram-seram seperti Afganistan. Apa pengalaman paling aneh yang kau alami?”
Aku berpikir. Begitu banyak. Nigeria dengan Ugo dan mi instannya. Mesir dengan Michael si Koptik yang bilang aku bukan jodohnya karena dia itu ibarat seperti gula suci. Palestina dengan keluarga Zinedine yang hangat. Turki, ehem, saat aku melihat syutingnya Shania Gracia—yang sampai sekarang aku masih penasaran kenapa wajahnya terasa familier sekali. Seperti jauh di mata, dekat di hati. Aslinya ternyata Gracia itu manis sekali.
Namun yang paling aneh itu adalah...
“Majapahit,” jawabku akhirnya. “Aku sempat terjebak di tengah peperangan. Lalu lubang hitam muncul dan menyedotku keluar. Rasanya… seperti dijambak oleh waktu.”
Kimi bersiul pelan. “Wah… itu tingkat isekai yang bahkan anime Jepang pun belum tentu punya.”