Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #61

Menjadi Kiper di Rio De Janeiro

Aku kini di sebuah lapangan futsal jalanan di kawasan favela yang dikelilingi dinding-dinding berwarna cerah penuh mural. Ada mural Neymar, ada juga gambar Kristus Penebus dengan warna neon, dan grafiti-grafiti yang aku sendiri tak mengerti artinya.

Di tambah lagi, aku erada di posisi yang tak perlahan-lahan kumengerti. Aku menjadi kiper.

Vamos, Pedro!” teriak seseorang dari pinggir lapangan. “Berikan dia long shot yang biasanya kau lakukan!"

Aku menoleh cepat. Seorang anak kecil berkulit gelap dengan rambut keriting pendek sedang menggiring bola. Sekitar umur sepuluh tahun. Matanya tajam tapi penuh keceriaan khas anak Brasil. Kakinya cekatan, seolah bola itu magnet yang menempel pada sepatu lusuhnya.

Lalu aku sadar sesuat. Kenapa aku langsung memakai seragam kiper? Kenapa aku tahu posisi tubuhku yang seharusnya condong ke kiri? Kenapa aku tahu jarak antara bola dan lantai akan memantul hanya sekali sebelum Pedro menendang?

Sepertinya instingku berjalan lebih cepat dari logikaku.

Pedro menendang. Sebuah tembakan keras, rendah, cepat, dan itu lebih cepat dari ukuran anak seusianya. Karena panik, aku menjatuhkan tubuh ke kanan. Tanganku terjulur, dan...

Bola menampar telapak tanganku dan memantul keluar lapangan. Sakit sekali!

Semua anak yang menonton bersorak.

“Caca! Kipernya ternyata tangguh!” teriak seorang remaja sambil tertawa.

Pedro terdiam sesaat, lalu tersenyum lebar. “Você é bom, irmão!” katanya sambil mengacungkan jempol.

Aku berdiri. Ah, lututku gemetar bukan karena permainan, melainkan syok isekai.

Baru tadi aku di Svalbard, di apartemen Gunnar, bicara tentang kebahagiaan sambil ditemani Kimi. Kini aku setengah berkeringat di bawah matahari Brasil.

“Eu… uh… di mana ini?” gumamku dalam bahasa Indonesia, yang tentu saja tidak dipahami siapa pun.

Pedro mendekat sambil mengulurkan tangan. “Nama aku Pedro. Kau dari tim mana? Kau bukan orang sini, kan? Dari mana pun itu, kuakui, kau jago jadi kiper!”

Aku hendak menjawab, tapi seorang pemuda berusia sekitar 17 tahun, mungkin kakaknya Pedro, turun dari kursi penonton.

“Ei, ini bukan pertandingan profesional,” katanya dalam bahasa Portugis. “Teman kalian ini bahkan tidak terlihat seperti anak favela. Dia sepertinya… turis yang tersesat.”

Lalu ia menatapku serius. “Kau turis?”

Aku menelan ludah. “Umm…”

Kalau aku jawab jujur, pasti mereka pikir aku sudah hilang akal.

Pedro langsung menepuk pundakku. “Ah, João! Sudahlah! Dia bisa main, kok. Kalau seseorang bisa main bola, dia bukan orang asing, menurutku. Mau kulit hitam, mestizo, kulit putih, selama bisa menendang bola, kita semua teman."

Anaknya lucu juga, pikirku.

Permainan berlanjut. Aku ternyata dipaksa tetap menjadi kiper.

Pedro datang lagi membawa bola.

“Kali ini aku akan mengelabui kamu," katanya sambil nyengir. "Siap-siap aku jebol gawang kau, Kawan!"

Betul saja, kali ini ia melakukan gerakan ala futsal pro. Melakukan step-over dua kali, bola didorong, lalu ditembak pelan ke arah yang tidak terduga. Menuju chip kecil ke tiang dekat.

Aku mencoba membaca, tapi terlambat. Bola masuk. Sorak-sorai meledak.

Pedro mengangkat kedua tangan, lalu berlari memutari lapangan kecil itu sambil tertawa. “GOL! AKU SUDAH BILANG KAN! AKU SUDAH BILANG!”

Aku ikut tertawa. Entah kenapa, kehangatan spontan itu menghapus rasa canggung. Untuk sesaat, aku lupa bahwa aku adalah orang yang terlempar dari dimensi satu ke dimensi lainnya tanpa kendali.

“Kawan,” Pedro memanggil tiba-tiba. “Namamu siapa?”

Ah, iya. Nama.

“Iman,” jawabku.

Lihat selengkapnya