Aku masih di Rio de Janeiro. Masih di Brasil. Masih bersama Pedro pula.
Kali ini, Pedro, di dalam kamarnya, kebetulan aku memang tinggal di rumahnya yang sederhana, ia menceritakan rencananya untuk masuk klub sepak bola Sao Paolo untuk kelompok usia di bawah 17. Kata Pedro, Sao Paolo sedang membuka seleksi masuk.
"Doakan aku, Iman," kata Pedro dengan mata berbinar-binar. "Aku yakin, Pedro Ronaldo Torres de Morais pasti diterima."
Aku cekikikan. "Wah, kau optimistis sekali..."
Pedro tertawa pula. "Hahaha... kamu pun bisa, kalau mau ikut."
Aku hanya nyengir. Tak bisa memberikan kepastian ke Pedro. Aku sadar diri, mengingat petualangan isekai yang masih harus aku jalani.
Pedro duduk di tepi ranjangnya yang sempit, dengan tembok kamar yang dicat biru muda. Warnanya sudah lusuh, beberapa bagian bahkan terkelupas. Di dinding penuh poster pemain-pemain idolanya. Ada Nelson Dida, Kaká, Ronaldinho Gaucho, dan tentu saja Neymar yang muda. Ada juga poster lama Romario dan Zico, yang ditempel secara asal-asalan. Kamar itu kecil, tapi hangat. Ada kipas angin yang berbunyi kretek-kretek, dan lantai keramik retak di satu sudut dekat pintu.
Aku duduk di kursi plastik warna hijau, mencoba memahami setiap kata Pedro. Bahasa Portugisku masih berantakan. Alhasil, kami berbicara dalam kombinasi bahasa Inggris, bahasa tubuh, dan beberapa kata Portugis yang aku pelajari dari dirinya.
“Iman,” Pedro menatapku serius, “aku mau kau ikut seleksi juga.” Ia menunjuk dadaku. “Você! Hey, kau!”
Aku hanya menghela napas. “Pedro, aku tidak tahu kapan aku akan… ya, hilang lagi. Isekai lagi.”
Pedro langsung mendengus tidak percaya. “Aah, kau selalu bilang begitu. Tapi kau selalu muncul lagi ke sini, kan?”
Aku terdiam. Ia benar. Selama ini, mau aku terlempar ke mana pun, entah bagaimana, selalu saja ada satu titik yang membawaku kembali ke Rio de Janeiro. Kembali ke rumah Pedro. Kembali ke kehidupan kecil dan sederhana milik keluarga Morais.
Mungkin karena Pedro juga, yang menjadi jangkar cerita ini. Atau mungkin karena aku membutuhkan sahabat. Atau, apalah itu. Aku hanya belum menemukan jawaban yang tepat.
Pedro tersenyum, lalu menepuk bahuku. “Kau kan hebat. Kau penjaga gawang yang luar biasa. Saat main di pantai Copacabana, kau bisa menahan semua tendangan Santiago dan Lucas. Mereka sampai mengira kau ini titisan Dida.”
Aku memejamkan mata, mengingat kejadian itu. Benar juga. Padahal aku tidak seahli itu saat di Indonesia. Namun, entah mengapa, setiap aku berada di sini, aku merasa lebih kuat, lebih cepat, serta lebih mampu membaca arah datangnya bola. Seolah ada kekuatan kecil yang menempel padaku ketika aku muncul di Brazil.
Mungkin efek isekai juga. Mungkin juga karena aku selalu ingin jadi penjaga gawang, tapi tidak pernah percaya diri.
Pedro bangkit dari ranjang, membuka jendela kamar. Angin pantai masuk, membawa bau laut yang asin. Lampu-lampu kota Rio berkelip jauh di bawah. Rumah Pedro terletak di favela kecil, agak tinggi di bukit. Suara musik funk dari kejauhan terdengar seperti denyut nadi yang tak pernah tidur.
“Kau tahu, Iman…” Pedro bersandar di jendela, pandangannya jauh. “Aku ingin sekali keluar dari favela ini. Aku ingin Mama dan adikku hidup lebih baik. Aku ingin menjadi pemain besar… aku ingin mencerahkan hidup keluarga Morais.”
Nada suaranya berubah menjadi pelan. Ada asa yang rawan, yang hampir pecah jika disentuh angin malam.
Aku bangkit dari kursi dan berdiri di belakangnya.
Pedro melanjutkan, “Ayahku meninggal saat aku masih kecil… ditembak di jalan karena salah waktu, salah tempat juga. Dari kecil aku sudah mengerti kalau hidup ini… kadang bisa kejam.”
Ia menunduk. Bahunya sedikit bergetar. Aku tidak pernah melihat Pedro selembut ini. Biasanya ia ribut, ceria, sok percaya diri, hingga meledak-ledak seperti kembang api.