Aku ikut Pedro ke markas São Paulo FC di Cotia seperti seseorang yang sedang berjalan di antara mimpi dan kenyataan.
Pagi itu Rio belum sepenuhnya panas. Udara masih menyisakan dingin tipis dari malam, tapi matahari sudah mulai meninggi, memberikan kilau keemasan pada aspal dan dinding rumah-rumah sederhana yang kami lewati.
Pedro berjalan cepat, membawa ransel bututnya di pundak. Matanya berbinar sejak kami meninggalkan rumah. Aku bisa merasakan getar semangat itu. Terlihat bukan euforia kosong, tapi keyakinan yang lahir dari bertahun-tahun bermain bola di gang sempit, tanah becek, dan lapangan tak rata.
“Kau lihat, Iman,” katanya di dalam bus antarkota yang penuh anak-anak muda berseragam olahraga. “Semua anak di sini punya mimpi yang sama. Tapi São Paulo hanya ambil beberapa orang.”
Aku mengangguk. “Kau kelihatannya siap.”
Pedro tersenyum lebar. “Aku harus siap.”
Markas Cotia berdiri megah namun tak berlebihan. Lapangan-lapangan hijau terhampar rapi seperti karpet. Bangunan latihan bersih, modern, dengan logo SPFC yang terlihat tegas. Ada warna merah, putih, dan hitam. Begitu turun dari bus, Pedro berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, seperti ingin menghafal momen itu.
“Ini dia,” gumamnya.
Aku ikut melangkah, meski di dadaku muncul rasa ganjil. Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya pengembara yang terseret lintas waktu dan lintas dunia, berdiri di tengah pusat pencetak pemain legenda Brasil.
Di ruang registrasi, Pedro menyerahkan dokumen. Aku berdiri sedikit menjauh. Beberapa pelatih mondar-mandir. Para pelatih itu bertubuh atletis, wajahnya serius, dan memegang clipboard di tangan. Mereka berbicara dalam Bahasa Portugis yang cukup cepat, dan penuh dengan istilah-istilah teknis tentang sepak bola. Anehnya, seperti biasa, kepalaku menerjemahkan semuanya tanpa jeda.
Seorang pria berambut cepak menatapku. “Você é o irmão dele?”
Aku refleks mengangguk. “Amigo.”
Ia mengangguk singkat lalu berlalu.
Pedro dipanggil untuk berganti seragam. Sebelum masuk ruang ganti, ia menoleh padaku. “Doakan aku.”
Aku mengangkat jempol. “Bermainlah seperti biasanya. Tanpa beban.”
Dari pinggir lapangan, aku menyaksikan seleksi dimulai. Anak-anak berlari, menggiring bola, menembak, sampai berteriak. Ada yang terlalu gugup sampai sentuhannya menjadi kasar. Ada yang terlalu pamer hingga lupa bekerja sama. Pedro sendiri tipe yang berbeda. Ia mungkin bukan yang paling cepat, tapi tahu kapan harus berlari. Tidak paling kuat, tapi sanggup membaca permainan dengan matang.
Saat sesi kecil sebelas lawan sebelas dimulai, seorang pelatih berteriak, “Pedro! Ala direita!”
Pedro berlari ke sayap kanan. Sentuhan pertamanya bersih. Ia mengirim umpan mendatar ke kotak penalti.
Gol!
Aku tanpa sadar mengepalkan tangan.
Waktu berjalan cepat. Matahari naik. Keringat dan napas berat memenuhi lapangan. Beberapa anak yang mulai tersisih, mereka dipanggil keluar. Lalu mereka duduk dengan wajah kosong. Pedro tetap dipertahankan.
Pada sesi terakhir, pelatih yang sama meniup peluit keras. “Cukup.”
Nama-nama dipanggil. Jantungku ikut berdebar, seolah masa depanku juga dipertaruhkan.