Isekai Everywhere

Nuel Lubis
Chapter #64

Apartemen Los Redimidos dan Massalia

Aku masih di Tokyo. Jika sedang isekai ke Jepang di tahun 2014 ini, aku tinggal di rumah Kenichi yang cukup menyenangkan. Tidak besar, tidak kecil pula.

Pagi ini, aku dibawa Kenichi ke rumah Pedro, seseorang dari El Salvador yang aku kenal saat isekai ke El Salvador di beberapa tahun sebelumnya, sebelum penjara super ketat itu dibangun. Penjara super ketat itu dibangun di saat kepemimpinan seorang berdarah Palestina.

Omong-omong, ternyata Pedro dan teman-temannya di Los Redimidos masih ada. Padahal, aku sudah lama meninggalkan mereka untuk isekai ke beberapa daerah seperti Palestina era kedatangan pasukan Alexander Agung, Nigeria dan Sudan yang diterpa isu agama, hingga aku pernah ditawan di penjara Iran. Jangan lupakan pula, tentang pemuda Norwegia yang menceritakan padaku, legenda mengerikan tersebut.

Pedro, Sebastian, Ferdinand, Ignacio, dan Hector, mereka masih tinggal di apartemen yang sama. Komplek apartemen yang tak terlalu besar, yang kebanyakan penghuninya justru bukan orang Jepang asli.

Apartemen itu masih berbau sama seperti yang kuingat. Masih tercium bau-bau yang merupakan campuran kopi murah, saus tomat kalengan, dan deterjen yang terlalu keras aromanya. Lorongnya sempit, cat temboknya agak menguning, tetapi penuh suara kehidupan. Kudengar, ada debat berbahasa Spanyol dari lantai atas, tawa anak-anak Afrika Barat, dan denting sendok dari dapur komunal di ujung koridor. Tokyo versi ini selalu terasa berbeda bagiku. Mereka jauh lebih otentik saja.

Pedro membukakan pintu dengan kaus putih lusuh dan celana training . Rambutnya dipotong pendek. Matanya masih tajam seperti dulu. Ia terdiam sepersekian detik, lalu tertawa keras.

“Iman, aku kira kau sudah lenyap ke neraka di sisi lain dunia.”

“Anggap saja begitu,” jawabku sambil tersenyum.

Sebastian muncul dari balik dapur sambil membawa roti panggang. Ferdinand menyusul dengan gitar akustik. Sementara Ignacio dan Hector memperdebatkan sesuatu tentang grup idola favorit mereka: AKB48. Semuanya terasa utuh. Seolah waktu menungguku tanpa bertanya. Tanpa mengubah apa pun.

Kami duduk rapat di ruang tamu kecil. Kenichi menyerahkan kantong plastik berisi minuman isotonic dan beberapa onigiri. Obrolan mengalir cepat. Mereka bercerita tentang kerja serabutan, kursus bahasa Jepang yang tak pernah tuntas, dan satu hal yang mengikat mereka semua: AKB48.

“Ah, bosan aku,” kata Pedro akhirnya, nada suaranya berubah serius. “Jangan membicarakan tentang idol group lagi, Hector.”

Aku mengangguk. Rasanya aku ingin Hector tidak membicarakan tentang AKB48 lagi.

Hector terkekeh. Ia menyesap kopinya lagi

Aku berdiri di dekat jendela apartemen bersama Kenichi. Ketika Pedro berdiri dari bangkunya, sekonyong-konyong aku teringat saat masih di El Salvador dulu. Bagaimana Pedro menyelamatkan aku dari situasi pelik. Jika tak ada Pedro, aku mungkin sudah tewas ditembak seseorang dari kartel narkoba yang ada di El Salvador sana.

Pedro tersenyum ke arah aku. Ia menyalami aku dan berkata, "Semoga petualangan isekai kau segera berhenti, Amigo."

Aku hanya terkekeh. Kulihat, Pedro bergegas masuk ke dalam. Katanya, ia ingin ke kamar mandi.

Kenangan sekonyong-konyong menyelip tanpa izin. Teringat akan pertempuran antar kartel di El Salvador. Atau sel dingin di Iran. Belum lagi, tentang vlangit Afrika yang terbelah doa dan kemarahan. Pun, cerita lelaki Norwegia tentang legenda sosok tak kasatmata yang konon memakan beberapa penjelajah. Aku menelan ludah. Semuanya itu sudah aku alami. Sekarang aku kembali ke Tokyo.

Beberapa menit kemudia, setelah hening cukup lama antara aku, teman-temannya Pedro, dan Kenichi, Pedro datang membawa beberapa cup ramen. Langsung dibagikan. Seperti biasa, Hector seperti orang yang lama belum makan saja. Tawa kembali pecah.

Malamnya, di rumah Kenichi, aku duduk sendiri di tatami.

“Kadang aku lelah,” gumamku.

“Karena kau tak pernah benar-benar siap yang aku lihat,” suara itu datang dari belakang—tenang, datar. Kenichi berdiri di ambang pintu.

“Pertanyaannya bukan siap atau tidak. Tapi apa yang kau sudah tinggalkan, dan untuk siapa kamu kembali.”

Aku menutup mata. Wajah Sakura terlintas, lalu Pedro juga. Detik berikutnya, aku mendadak berdiri di tempat lain.

Pasir putih, laut biru tua. Angin membawa bau asin dan teriakan burung. Di kejauhan, sebuah kota pelabuhan dengan menara-menara batu.

Lihat selengkapnya