Aku masih di Massalia. Kota ini benar-benar indah. Aku suka dengan pemandangan pantai di Massalia. Serasa menjadi anak dewa saja.
Sekarang ini Theodoros membawaku ke sebuah pasar. Masih dalam lingkup Massalia juga.
Seperti biasa, isekai ini membuat aku langsung memahami orang-orang yang sedang mengobrol di sekitar aku. Theodoros pun tahu itu.
"Kau bagaikan Superman saja, Iman," kata Theodoros terkekeh.
Aku terkekeh dan membalas, "Kalau aku Superman, seharusnya aku bisa terbang, Theo."
"Tapi kemampuanmu itu--" Theodoros terkekeh. "--yang berpindah dimensi, itu sudah sama seperti kemampuan terbangnya Superman."
Baru saja aku akan membalas perkataannya tadi. Sekonyong-konyong seorang perempuan menghampiri. Ia lumayan cantik untuk ukuran perempuan Yunani.
"Hei, Gianna," sapa Theodoros terkekeh.
Nama perempuan itu ternyata Gianna. Ia merespon, "Siapa ini, Theodoros?"
Theodoros memandangku sebentar, lalu kembali ke perempuan itu dengan senyum setengah nakal. “Ini Iman. Teman lama. Datang dari… tempat yang jauh.”
Gianna menyipitkan mata, menilaiku tanpa canggung. Sungguh tatapan khas perempuan pesisir yang terbiasa membaca orang dalam hitungan detik. Rambutnya hitam pekat, dikepang sederhana. Lalu kulitnya kecokelatan oleh matahari. Pakaiannya bersih tapi jelas bukan milik orang kaya. Pedagang, mungkin. Atau putri pedagang.
“Sejauh apa?” tanyanya. Bahasa Yunani bercampur dialek pelabuhan mengalir mulus di telingaku. Tanpa sadar, aku memahaminya sebagai sebuah keajaiban yang kini terasa terlalu biasa.
“Sejauh orang yang sudah terlalu sering tersesat,” jawabku jujur.
Gianna tersenyum tipis. “Jawaban yang aman. Kau cerdas juga, ternyata.”
Pasar Massalia terbentang di depan kami. Kuliha kain-kain berwarna merah dan biru laut digantung. Ada juga rempah-rempah ditumpuk dalam keranjang anyam. Ada pula ikan segar berkilau di bawah matahari. Bau roti hangat bercampur zaitun dan anggur. Kota ini hidup, bernapas, seolah tak peduli pada kapal-kapal musuh di cakrawala.
“Kota ini selalu berpura-pura,” kata Gianna sambil berjalan. “Kami berjualan, tertawa, bertengkar tentang harga… seolah perang itu hanya rumor.”
“Itu juga bentuk perlawanan,” jawab Theodoros. “Menolak hidup sebagai korban sebelum waktunya.”
Kami berhenti di kios Gianna. Ia menuangkan anggur encer ke cawan kecil dan menyodorkannya padaku. “Pendatang harus mencicipi. Tradisi.”
Aku meminum seteguk. Asam, ringan, hangat di tenggorokan. Spiral di dadaku berdengung lembut, seirama dengan hiruk pikuk pasar. Untuk sesaat, aku lupa mengenai kapal-kapal tersebut.
“Jadi,” Gianna menatapku lagi, “kau paham bahasa kami tanpa belajar?”
Aku mengangguk. “Kurang lebih.”
Theodoros tertawa. “Dia juga memahami bahasa yang belum lahir dan yang sudah mati.”
“Itu terdengar berlebihan,” kataku.
“Tidak di Massalia,” balas Gianna. “Di sini, kami sangat menghargai bakat-bakat seperti itu."
Gianna menepuk meja kios. “Duduklah. Kalian berdua. Aku akan bercerita, dan kalian akan mendengarkan.”