Pagi berikutnya datang dengan sinar keemasan yang memantul di dinding-dinding batu Massalia. Aku terbangun oleh suara ayam jantan. Sesuatu hal yang menurut aku, agak ganjil. Karena di rumah Theodoros tidak ada ayam sama sekali. Namun mungkin ada tetangganya yang memelihara ayam. Atau mungkin, seperti biasa, dunia ini hanya suka menggangguku dengan detail yang tidak relevan. Sama seperti aku yang mendadak dibuat bisa mengerti beragam bahasa.
“Iman! Bangun!” suara Theodoros terdengar dari bawah. “Cepat, kita harus bersiap!”
Aku bangkit sambil menguap. “Ke mana?”
“Athena!” jawab Theodoros dengan nada bangga, seolah baru mengumumkan bahwa dia memenangkan Olimpiade.
Athena?
Jantungku berdebar. Kota yang selama ini hanya kubaca dari buku sejarah, yang namanya terpatri di setiap legenda. Kota tempat para filsuf berjalan santai sambil memperdebatkan dunia. Kota yang disebut-sebut sebagai pusat kebijaksanaan dan kegilaan Yunani.
Aku turun ke lantai bawah. Ibu Theodoros sudah menyiapkan roti barley, keju, dan sedikit ikan kering. Bau rempah di dapur membuatku langsung lapar.
“Iman, makan dulu, apalagi perjalanan panjang,” kata ibu Theodoros sambil tersenyum ramah.
Aku mengangguk. “Terima kasih, Bi.”
Setelah sarapan, kami berjalan menuju pelabuhan Massalia. Aku menaiki kapal bersama Theodoros, orang tuanya, dan adik perempuannya yang cerewet bernama Sandra. Kapal kayu itu bergerak perlahan, lalu memotong birunya Laut Tengah.
Angin laut menerpa wajahku. Aku berdiri di haluan, menatap cakrawala. Di belakangku, Theodoros menghampiri sambil membawa sepotong buah ara.
“Kau gugup?” tanya Theodoros sambil mengunyah.
“Lebih tepatnya… terpesona. Apalagi, aku kan mau lihat Athena secara langsung.”
“Kau akan jatuh cinta,” katanya sambil menepuk bahuku. “Athena itu seperti perempuan yang misterius. Kau kira sudah mengerti dia, ternyata belum.”
Aku terkekeh. “Kau bicara seperti Sokrates.”
“Ah, kalau Sokrates hidup sekarang,” jawab Theodoros sok gagah, “dia pasti akan menjadi influencer.”
Kami tertawa bersama.
*****
Perjalanan memakan waktu cukup lama. Matahari berganti bulan, dan ketika kabut tipis mulai turun, siluet kota muncul dari kejauhan.
Athena.
Aku terbelalak melihatnya.
Bangunan marmer putih memantulkan cahaya seperti api suci. Di atas bukit, Parthenon menjulang megah, seakan melindungi kota yang sibuk di bawahnya. Pasar-pasar terbentang luas. Lalu, ada jalan-jalan yang penuh orang. Belum lagi, saa ada pedagang berteriak, anak-anak berlari, pun, kulihat para pria mengenakan himation anggun berjalan seperti sedang melakukan ritual menyembah Zeus.
Saat kapal merapat, aku merasa seperti masuk museum hidup.
“Iman, selamat datang di Athena,” kata Theodoros bangga.
Kami turun dari kapal dan disambut hiruk pikuk kota. Keluarga Theodoros langsung menuju rumah saudara mereka, seorang pria paruh baya bernama Apollodoros. Rumahnya terletak tak jauh dari Agora. Agora konon merupakan tempat segala perdebatan, gosip politik, dan transaksi penting biasanya berlangsung.
Setelah meletakkan barang, Theodoros menarik lenganku. “Ayo, aku tunjukkan sesuatu.”
Aku mengikutinya melewati gang-gang yang dipenuhi pedagang zaitun, anggur, dan kain biru tua khas Athena. Kami naik sedikit ke arah lereng bukit.