Angin sore Athena berembus lembut ketika kami duduk di sebuah bangku marmer dekat Areopagus Hill. Matahari perlahan turun di balik rumah-rumah putih yang bertingkat, memantulkan warna keemasan pada tiang-tiang Parthenon di belakang kami. Aku, Theodoros, dan keluarganya baru saja selesai berkeliling Plaka. Kaki pegal, tapi hati ini terasa hangat.
Di tengah obrolan ringan tentang makanan, seseorang memanggil dari kejauhan.
“Theodoros! Iman!”
Kami menoleh. Seorang perempuan berlari kecil mendekat sambil melambai. Rambut hitamnya yang dikepang setengah berantakan ditiup angin. Gaun biru lautnya ikut berkibar. Itu Gianna.
“Gianna?” Theodoros bangkit kaget. “Kau… kenapa bisa di sini? Bukannya kau di Massalia?”
Gianna membalas dengan senyum lebar namun napasnya masih tersengal. “Aku naik kapal dagang ke Piraeus pagi tadi. Butuh enam jam untuk bisa mencapai tempat luar biasa ini. Lalu aku tanya-tanya, dan well… akhirnya aku bisa menyusul kalian.”
Aku ikut berdiri, nyengir jahil, “Kenapa menyusul sampai sejauh ini? Ada sesuatu yang penting?”
Gianna tampak ragu sebentar. Lalu ia menarik napas panjang, seolah siap membuka rahasia yang selama ini disembunyikan.
“Ada hal yang perlu kalian tahu… tentang diriku,” ucap Gianna. “Aku bukan hanya perempuan Massalia biasa.”
Theodoros memiringkan kepala dan semakin dahinya berkerut. “Maksudmu apa?”
Gianna menatap kami satu per satu. Matanya lebih serius dari biasanya.
“Aku memiliki darah Lebanon dari garis ibuku.”
Aku dan Theo saling pandang. Gianna melanjutkan dengan suara rendah.
“Ibuku berasal dari keluarga diaspora Lebanon yang dulu mengungsi ke Siprus, tepatnya Siprus bagian Yunani. Beberapa sepupuku masih tinggal di sana. Salah satunya bertugas sebagai penjaga perbatasan di area yang memisahkan Siprus Yunani dan Siprus Turki.”