“Suresh.”
Dia menyebut namanya sambil menatapku dengan mata yang jenaka. Tangan kanannya diangkat ke arah kening de- ngan sikap tubuh sedikit menunduk. Kemudian, kepalanya digoyangkan ke samping kanan sebanyak satu kali. Genggaman tangannya terasa amat keras memeluk jemari. Mataku yang masih mengantuk karena kurang tidur selama perjalanan Jakarta – Delhi dibuatnya lebih segar. Membuatku yakin bahwa aku memang di India.
Kumis tipis memanjang yang tertata rapi di bawah hidung mancungnya tampak terangkat karena senyum lebarnya. Kulit hitam legamnya begitu kontras dengan tilak berwarna merah yang terletak di tengah dahi. Dia terlihat bahagia dengan pertemuan pertama kami. Sementara aku tersenyum dengan kikuk dan berusaha menarik tanganku menyudahi jabat tangan kami.
“I’m here to serve you, jangan sungkan, jangan sungkan,” celetukan Suresh dengan gaya bicara khas Hindi-nya menyadarkanku kalau pagutan tangannya sudah berhasil kulepaskan. “It’s been awhile since we have a beautiful guest like you. Nasi gorengnya enak? Kalau tidak suka bilang saja. Suresh ready to cook anything for you.” Pengucapan bahasa Inggrisnya terdengar lucu di telingaku.
Lidahnya seperti ditekuk. Cara bicaranya mengingatkanku pada kebanyakan pemain film India yang kutonton, gelengan kepala, lekukan tangan, dan hentakan kaki terasa ikut menari bersama kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Aku bahkan sempat terpancing untuk ikut menggerakkan kepalaku, mengikuti lenggokan kepala Suresh. Dia juga sepertinya sudah cukup pintar berbicara dengan bahasa Indonesia walaupun kadang dicampur dengan dua bahasa, Hindi dan Inggris. Dua bahasa yang memang menjadi bahasa resmi negara parlementer ini. Di sampingku, Mas Jay hanya tersenyum geli melihat kekikukanku.
“Dhaniyawad.1 Masakan Suresh enak sekali,” ujarku, mencoba mempraktikkan bahasa India sederhana yang ku pelajari dari buku-buku panduan turis, sambil merapatkan kedua tangan ke dada.
Gigi putihnya kian mengembang. Suresh kembali memberi hormat dengan menempelkan tangan kanannya ke arah kening dan menelengkan kepala ke kanan satu kali. Tampaknya laki-laki ini sangat ramah, atau mungkinkah semua orang India seramah dia?
“Call me if you need anything. Saya akan ada di dapur. Oke?”
“Oke.” Aku dan Mas Jay menjawab serempak.
Suresh pun berpindah dari ruang makan ke dapur basah.
Dia membawa peralatan makan yang kami gunakan tadi. Dua piring nasi goreng yang dia buat sudah tak bersisa sedikit pun.
Sejak mendarat dini hari tadi, nasi goreng ini adalah makanan pertama yang masuk ke perut kami. Ini akan jadi sumber energi untuk memulai kegiatan hari ini.
Tubuhku sebenarnya masih terasa lemas, dan kalau boleh memilih, aku masih ingin berbaring menghilangkan lelah. Sejak Hannah mengirimkan gambar itu, aku sungguh sulit tidur. Aku sudah menghapusnya dari memori ponselku tapi tak semudah itu menghapus kenangan pahit yang kembali bang kit dalam ingatan. Ditambah perjalanan yang lumayan melelahkan dari Jakarta, membuat otot-otot tubuhku berteriak minta istirahat. Namun, pagi ini kami harus menemui Bu Heni, Minister Counselor yang akan menyambut kami. Beliau mewakili duta besar yang saat ini masih belum datang karena sedang dalam masa peralihan duta besar lama ke duta besar yang baru. Jadi, aku mulai menyeret langkahku dengan berat, berjalan malas di belakang Mas Jay, senior sekaligus produser eksekutif di divisiku.
“Enak ya, tinggal di KBRI, tempatnya adem, makanannya enak,” komentar Mas Jay.
Aku melihat ke sekeliling. Gedung KBRI ini memang seperti rumah besar yang di dalamnya tidak terlalu bernuansa kantor, membuat kita serasa di rumah sendiri. Maksudku dari segi kenyamanan, karena rumahku tidak seluas ini.
“Mas Jay mau pindah ke sini? Siapa tahu ada lowongan,” candaku.
“Idemu menarik juga, siapa tahu bisa dapat jodoh di sini.” Dia mengucapkannya dengan tampang serius.
Aku tertawa kaku mendengar ucapan Mas Jay. Apa itu maksudnya bercanda? Seniorku ini biasanya kaku dan tak banyak bicara, apalagi bercanda. Namun, sejak tiba di India, dan bahkan sepanjang perjalanan dari bandara dan saat sarapan, dia cukup banyak bicara, sesekali melucu. Namun, kadang aku bingung saat dia mengucapkan candaan dengan wajah serius. Mungkin ini efek India, pikirku. Apa jangan-jangan sebentar lagi Mas Jay akan mulai menari-nari ala penari India juga? Aku tersenyum geli membayangkan adegan itu.
“Kamu kenapa, Div? Kok senyum-senyum gitu?”