Katherine Anne Porter, seorang sastrais pemenang Pulitzer, pernah mengatakan “the past is never where you think you left it”. Seperti yang kualami ini. Masa lalu itu, yang seingatku telah jauh kutinggalkan, telah lama berakhir, kini muncul di sini. Di India. Tak pernah tebersit sekejap pun aku akan menjumpainya lagi. Di negara yang begitu kami angankan saat masih menjalin kasih.
Pertemuan yang tak pernah kuharapkan itu telah membuat kacau pikiran dan perasaanku. Bagaimana bisa aku menemukan kaidah Islam yang penuh cinta di tengah kebencian yang makin menyeruak dengan munculnya wajah dan luka lama? Sekuat apa pun alasanku menolak, ternyata tak mampu membendung keinginan Bu Heni untuk menjadikannya guide selama liputanku di India. Aku sendiri tidak bisa membayangkan akan bersamanya selama sebulan penuh. Baru kali ini aku merasa tak berkutik dengan keputusan yang seharusnya menjadi kuasaku. Bahkan, angin malam dalam perjalananku menuju Komplek Nizamuddin Dargah ini tak berhasil membawa pergi kekalutan hatiku.
Aku berjalan setengah berjinjit melewati gelimpangan tubuh pengemis yang berserakan di lorong. Mereka mere- bahkan diri di lantai berkeramik putih di sebuah gang kecil penghubung pintu masuk dengan ruang utama. Para pengemis itu kebanyakan laki-laki dengan pakaian compang-camping dan kumuh.
Seharusnya kutolak saja ide cari udara segar ini, pikirku.
Aku sangat berhati-hati melangkah karena penerangan lampu di lorong yang kulewati tidak terlalu terang. Kakiku terasa gatal dan lengket walaupun belum terlalu jauh dari pintu masuk Komplek Nizamuddin Dargah. Sesekali kuusapkan telapak kaki kananku ke kaki kiri, sekadar menghilangkan risih karena kotoran-kotoran terasa menempel.
“Kenapa nggak bilang sih, kalau di sini harus lepas sepatu. Saya kan bisa bawa kaus kaki,” gerutuku, kesal.
Mas Jay dan Andrean berjalan di belakangku. Mereka hanya diam dan tak membalas satu pun omelan yang memang sejak kami berangkat sering kulontarkan.
Mas Jay yang mengusulkan acara jalan malam ini. Dia mengatakan usulan itu saat melihat wajahku yang berubah kusut setelah pertemuan pagi tadi. “Supaya kamu enak tidurnya, kayaknya kamu butuh angin segar,” ajaknya, saat menghampiriku yang sudah cukup lama mengunci diri di kamar setelah peristiwa itu. Pertemuan tak diinginkan memang membuat asam lambungku melonjak dan memaksaku merebah-kan diri di kamar seharian.
Aku tahu niatnya memang sangat baik. Yang aku tak tahu bahwa dia mengajak Matahari. Maaf, maksudku Andrean. Yah, aku masih belum terbiasa menyebut namanya. Matahariku. Oh ya ampun, kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini?
Aku mempercepat langkahku. Aku harus menjauh dari Andrean. Panggilan Mas Jay di belakang kuabaikan hingga suara itu tertelan nyanyian.
Dengung doa dan alunan musik yang memekakkan telinga pun mengisi telingaku, sesampainya di bangunan utama, makam Nizamuddin Auliya, yang terletak beberapa puluh meter dari pintu masuk. Aroma dupa yang dibakar tepat di depanku, benar-benar menusuk hidung. Ditambah dengan wangi khas para peziarah yang berlalu lalang di sekelilingku. Serba-serbi orang yang memenuhi tempat ini terasa sangat mencolok. Penerangan di area makam Nizamuddin Auliya jauh lebih baik dibanding dengan gang kecil yang kulewati tadi.
Kuhentikan langkahku di dekat salah satu makam, dan mulai meresapi ramai dan bising di sekitarku.
Tidak jauh dari tempatku berdiri, ada sekelompok orang bermata sipit yang asyik mengambil foto dengan kamera saku. Beberapa wanita bercadar dan berpakaian hitam pun tampak di antara wanita ber-saree dan shalwar suit yang dilengkapi dengan dupatta. Tidak kalah dengan kaum hawa, laki-laki berpeci putih pun banyak yang berkeliaran ke sana kemari, mengenakan pakaian kurta longgar hingga ke lutut berpadu dengan celana hingga mata kaki.
Wajah-wajah wisatawan bermata biru dan berkulit putih yang berada di sela-sela penduduk lokal dengan cara berdoa yang berlainan menambah keyakinanku bahwa tempat ini tidak hanya dikunjungi oleh satu agama, etnis, dan ras saja. Baru kali ini aku melihat sebuah tempat yang disakralkan oleh umat Islam di India yang juga didatangi ratusan orang dari pemeluk agama lain. Mereka sama-sama mengistimewakan tempat ini meski dengan cara penghormatan yang berbeda.
Kurasa gelombang manusia yang datang ke komplek yang berisi puluhan makam ini tak bisa dihitung dengan jari, entah apa yang mereka cari. Dan berbeda dengan area pemakaman biasa, tempat ini jauh dari kesan angker nan sunyi. Warna- warni yang begitu kontras berlatar pekat malam.
Aku masih mematung persis di depan makam yang dianggap paling bertuah di sini. Makam yang dipercayai sebagai tempat bersemayamnya orang suci atau wali, dan biasa disebut Dargah. Makam Hazrat Shaikh Khwaja Syed Muhammad Nizamuddin Auliya atau lebih akrab dikenal dengan Hazrat Nizamuddin adalah yang paling banyak dipenuhi pengunjung.
Orang-orang rela antri dan berdesak-desakan untuk dapat masuk ke ruangan sempit yang berbentuk seperti pendopo kecil. Kesemua mereka adalah laki-laki. Kaum hawa hanya dibolehkan berada di luar tembok atau tabir yang mengelilingi batu nisan. Para wanita muslim tampak membaca ayat- ayat Alquran dengan khusyuk di luar pintu makam Hazrat Nizamuddin. Saking seriusnya, banyak di antara mereka mengaji sambil duduk menggoyangkan badan dengan posisi maju mundur.
Aku sendiri hanya berdiri mematung di bawah pelataran makam Syaikh Nizamuddin. Wanita-wanita berpakaian saree tampak menyalakan dupa sambil merundukkan kepala dan badan mereka ke arah makam. Ujung sari mereka ditutupkan ke kepala seperti memakai kerudung. Bau dupa beraroma mawar yang mereka bakar begitu menusuk hidung, pekat dan membuatku sedikit pusing.
Aku teringat dengan dua pria yang kutinggalkan tadi dan membalikkan badan mencari keduanya. Ke mana mereka?
Tak ada bayangan mereka. Hanya terlihat para peziarah yang berdoa sambil menyembah kubur, menciumi lantai, atau berulang kali menempelkan tangannya di bagian luar makam dan kemudian mengarahkan telapak tangan dan semua jari ke arah bibir. Mulut mereka seperti merapal kalimat-kalimat yang tentu hanya dirinya dan Tuhan-lah yang tahu apa yang diminta. Gerak tubuh mereka terlihat sangat menghormati sekali jasad yang bersemayam sejak ratusan tahun silam.
Aku takjub dengan kekhusyukan mereka yang berdoa dengan takzim. Dari cara mereka menghormati makam Hazrat Nizamuddin, aku yakin pria kelahiran 1238 Masehi itu adalah seorang manusia istimewa. Aku mengeluarkan ponsel pintarku, berniat mencari tahu tentang Hazrat Nizamuddin ini. Lalu, aku teringat aku belum sempat mengurus SIM card lokal sehingga ponselku bisa dibilang hanya berfungsi untuk melihat waktu atau merekam gambar. Andai saja aku bisa meminta bantuan Matahari, maksudku Andrean. Namun menatapnya saja aku enggan, apalagi bertanya. Sepertinya, guide dalam perjalananku kali ini akan menjadi api dalam sekam. Merepotkan.
Kuputuskan untuk berjalan mendekati keramaian yang sedari tadi menambah kehangatan malam di Nizamuddin. Tepat di seberang makam, di sebuah pelataran yang tidak terlalu luas, tampak sekumpulan pria yang duduk melantai mengelilingi sebuah grup musik. Pemain harmonika dan pemain tablah pun ikut bernyanyi bersama penyanyi utama grup tersebut. Ketiga musisi itu memakai pakaian putih. Mereka duduk menghadap makam Hazrat Nizamuddin sambil bersenandung. Awalnya memang terdengar biasa, tetapi ketika lama-kelamaan musik itu bisa membuat setiap pendengarnya terhipnotis mendekat. Tak heran, makin lama kumpulan kecil itu semakin melebar, disesaki para peziarah.
Hentakan tablah berpadu dengan nyaringnya suara harmonika memberi kesan magis pada lirik yang dinyanyikan. Tempo irama musik yang cepat tak berbanding jauh dengan kerasnya lagu yang dinyanyikan. Lirik-lirik yang disampai- kan seperti mengalir dalam satu napas yang dinyanyikan dengan begitu bersemangat. Sayang, aku tak mengerti artinya. Tubuh ku terasa bereaksi dengan nada-nada itu. Sesekali aku mengangguk-angguk mengikuti irama. Menggoyangkan kaki dan menjentikkan jari. Lama-kelamaan, aku merasa tersihir oleh musik yang dibawakan seperti berpuisi itu.