Benar saja, setelah beberapa waktu bersikap seolah tak memikirkan Ratu Atlantis lagi, aku kembali memergoki Zeus menekuri layar yang sama. Kali ini bahkan Zeus tak merasa perlu sembunyi-sembunyi melakukannya.
"Mainanmu ini benar-benar mengasyikkan, Hermes. Lebih menyenangkan dibanding tongkat petirku, bisakah kau pesankan satu untukku?" celoteh Zeus saat menyadari kedatanganku.
"Itu bukan mainan Yang Mulia, sebagaimana tongkat petir anda sebenarnya juga bukan mainan. Dan tidak, alat itu tidak bisa dibuat tiruannya meskipun anda yang memesan, Dewa yang membuatnya sudah pikun," jawabku seraya mendesak Zeus bergeser dari depan layar. Zeus bukan hanya melihat-lihat, tapi juga sudah membuka portal akses ke sebuah negeri di wilayah Atlantis bernama Jawa Dwipa. Sepertinya Zeus sudah membuat kekacauan di sana. Terlihat asap mengepul di persawahan.
"Mengapa Yang Mulia menghanguskan tanaman padi milik penduduk Jawa Dwipa?" tanyaku kesal sembari memeriksa berbagai kerusakan yang sudah ditimbulkan Zeus di Tanah Jawa Dwipa melalui layar. Ribuan hektar sawah terlihat hangus.
"Ohh, itu. Aku tadi melihat ada penduduk di sana membakar tanaman itu, kau bilang namanya apa tadi? Padi ya? Jadi aku pikir itu rumput tidak berguna yang harus dibasmi. Aku hanya ingin membantu agar pekerjaan mereka lebih cepat selesai. Aku gunakan tongkat petirku membakar tanaman yang serupa," jawab Zeus dengan ringannya.
"Yang dibakar penduduk itu cuma jerami, anda membakar batang-batang yang masih ada padinya. Ya ampun, sekarang para petani itu jadi gagal panen, padahal itu makanan pokok mereka!"
"Oooh, aku salah ya?" Zeus memasang mimik bodoh. Pura-pura. Aku yakin Zeus tahu pasti apa yang sudah dilakukannya.
"Sebaiknya Yang Mulia tidak bermain-main lagi dengan alat ini, apalagi anda telah membuat kekacauan di wilayah tetangga," aku mencoba meminta pengertian Zeus.