Aku memikirkan bagaimana cara terbaik bertemu Ki Ageng Selo. Soal sampai ke sana, aku bisa melalui portal di ruang kerjaku. Itu bukan masalah. Tapi aku perlu belajar banyak hal dulu. Mana boleh maju perang tanpa mengenali musuh dengan baik.
Setelah mengamati beberapa hari lewat alat di ruang kerjaku, aku berpendapat, Ki Ageng Selo adalah sosok yang bersahaja, dilihat dari cara berpakaian, rumah tempat dia tinggal, dan kebiasaannya sehari-hari. Kukira ini awal yang baik.
Aku menulis satu lontar untuk minta ijin bertemu dengannya, lalu menyusup ke Jawa Dwipa. Kuletakkan suratku di depan pintu masuk rumah Ki Ageng Selo. Di akhir suratku, aku meminta jawabannya ditulis di selembar lontar pula, akan ku ambil jika sudah siap. Lontar balasan Ki Ageng diletakkan di depan pintu sehari berikutnya. Seperti yang kuduga, Ki Ageng tak keberatan menemuiku. Tanpa tunggu lama , aku langsung menuju rumahnya.
"Salam, Ki Ageng Selo. Dewa Hermes, utusan Yang Mulia Dewa Agung Zeus, mohon ijin untuk menyampaikan pesan dari Dewa Zeus," aku memperkenalkan diri setakzim mungkin di hadapan Ki Ageng Selo. Aku mengulurkan tangan mengajak bersalaman sesuai adat kebiasaan di Jawa Dwipa, namun Ki Ageng tak segera menyambut, malah menatapku dengan pandangan aneh.
"Apa sampeyan Dewa penyakit kulit?" tanya Ki Ageng Selo terlihat sungkan.
Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk memahami maksudnya. "Itu Herpes, Ki Ageng," jawabku berusaha sabar.
"Oohh, maaf kalau begitu," Ki Ageng terlihat lega dan langsung menyambut uluran tanganku dengan hangat, lalu mempersilakan aku duduk di kursi bambu. Aku anggap ini sebagai pertanda baik atas tugas yang sedang kuemban. Pandanganku mengisari pondok kayu sederhana tempat Ki Ageng tinggal. Bahkan kandang merpati peliharaan Zeus di Olimpia lebih bagus dari pondok ini. Tapi entah mengapa, tempat ini terasa nyaman dan damai.
"Biar aku tebak, ini masalah Naga Api yang kutangkap kemarin, ya tho?" Ki Ageng langsung menuju ke pokok masalah. Baguslah, aku tidak perlu banyak basa-basi.