Islam menatap bentang langit yang putih cerah. Rutinitas dirinya ketika sedang suntuk adalah berbaring di gazebo sebelah kolam di kampusnya. Dekat dengan masjid kampus. Kebanyakan mahasiswa jarang datang ke sini karena malas menyeberangi jembatan kayu yang sedikit menakutkan. Kayu yang mulai lapuk adalah penyebab nya. Islam sudah pernah mengusulkan untuk mengganti dengan semen, namun hingga kini belum ada sentuhan.
Kepalanya mulai berdenyut, pekerjaan dan tugas kuliahnya sedang saling beradu. Kalau boleh jujur, Islam sedikit lelah. Hanya saja dia tidak bisa berkata jujur kepada temannya yang lain. Ketika ustadzah Rahma mengusulkan untuk kunjungan ke panti, mau tidak mau dia harus menuruti karena pada dasarnya itu adalah progja dari pengurus.
"Antum bahagia banget kalau sudah berbaring di sini," ucap Hasbi yang membuat Islam tersenyum kecil.
Tangan kanan yang digunakan untuk menutup mata kini dialihkan menjadi bantalan. Kini sepenuhnya Islam melihat Hasbi yang bisa ditebak baru saja berwudhu. Masih terlihat rambutnya yang basah. "Saya sedang menciptakan kebahagiaan."
"Tadi perwakilan dari UKM ngasih sumbangan baju, buku sama uang ke ketua pelaksana," ujar Hasbi.
Islam mengangguk. Dirinya di sini hanya sebagai anggota karena masa jabatannya sudah berakhir sejak satu tahun yang lalu. Dia bersyukur berada di dalam orang-orang hebat, orang yang saling mengingatkan satu sama lain. "Afwan tadi belum sempat bincang sama yang lain."
Hasbi mengikuti Islam berbaring menikmati cuaca yang sejuk ini. Bunyi gemericik air kolam yang membuat tubuh seakan rileks. "Azka katanya mau gabung, sudah tidak pacaran dengan ukhti Habbah memang?"
Islam tidak langsung menjawab. Dia memandang Hasbi sebentar kemudian tersenyum. "Iya, Azka hendak gabung. Tau dari mana berita itu?"
"Berita putusnya Azka sama ukhti Habbah udah kayak artis kalau antum mau tau. Diam-diam para Ikhwan kalau nggak ada antum atau akhi Fariz juga sering bicarain ukhti Habbah. Pas tau kalau mereka putus otomatis mereka senang bukan main," jelas Hasbi. Menjadi pengamat ketika temannya saling bercerita membuat Hasbi senang. Dia jarang tahu beberapa watak teman seperjuangannya. Belum lagi kalau sudah membahas perasaan yang belum bisa disalurkan.
"Memangnya kenapa kalau ada saya dan akhi Fariz?"
Aneh saja bagi Islam, mereka seakan takut membicarakan akhwat di depannya. Akan tetapi, mereka tidak takut akan murka Allah. "Ya, pasti tidak diperbolehkan."
"Menurut antum ukhti Habbah dan ukhti Ihya mana yang lebih pas dijadikan istri?" tanya Hasbi tiba-tiba.
Sedikit terkejut juga Islam mendengarnya. "Kenapa antum tanya saya? Saya tidak berhak menghakimi seseorang. Semua wanita punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing."
"Kalau saya, sih lebih ke ukhti Ihya. Kayaknya antum cocok, deh saya ukhti Ihya."
"Jodoh saya sudah ditentukan oleh Allah," kata Islam yang langsung membuat Hasbi terdiam.
Dalam penglihatan Hasbi, Islam memang tidak pernah menunjukkan ketertarikannya kepada lawan jenis. Namun, tidak tertarik belum tentu tidak ada rasa. "Pulang nanti mau ke cafe?"