Dalam budaya Jawa ada istilah
“sawang-sinawang”—berhusnuzan
dan beriktikad baik pada orang lain.
Kita tidak bisa menilai orang lain
karena kita tidak bisa apa-apa.
Hanya Gusti Allah yang bisa berbuat
apa saja. Selebihnya hanyalah animasi.
Keramat secara epistemologi berasal dari kata karâmah. Dari kata itulah kemudian muncul inna akramakum. Jadi, akram itu adalah yang lebih punya keramat. Dalam Al-Quran (QS Al-Hujurât [49]: 13) dinyatakan, “Inna akramakum ‘indallâhi atqâkum”, tapi jarang diingat bahwa dalam kalimat itu adalah ‘indallâh (di sisi Allah), bukan ‘indannâs (di sisi manusia). Maksudnya adalah Gusti Allah secara implisit—atau tersirat—memberi tahu pada manusia bahwa yang mengerti keramat atau tidak keramat itu cuma Dia.
Kalau ada yang menyebut saya keramat, itu adalah doa untuk saya, tapi bukan kenyataan bahwa saya keramat.
Kalaupun ada yang keramat, itu tidak bisa dibandingkan. Anda tidak bisa membandingkan nyamuk dengan lalat. Nyamuk itu, seperti itu, lalat juga seperti itu. Ada hal-hal yang bisa kita perbandingkan. Tapi ada juga sesuatu, yang sifatnya sunnatullâh, yang tidak bisa dibandingkan. Anda tidak perlu menilai jika kambing kalah besar dari gajah. Sebab, kambing memang segitu besarnya. Gajah juga segitu besarnya.
Allah mengatakan, “… Innallâha lâ yastahyî ay-yadhriba matsalammâ ba‘ûdhatan fa mâ fauqahâ” (QS Al-Baqarah [2]: 26). Saya tidak malu membahas nyamuk, membahas semut, karena Allah sendiri menyebutnya sebagai perumpamaan dalam Al-Quran, untuk pembelajaran manusia. Maksudnya, Allah itu serius menciptakan tumbuhan, hewan, dan alam untuk memberi pengajaran pada manusia. ‘Allamal insâna mâ lam ya‘lam (QS Al-‘Alaq [96]: 5).
Saya ingin seperti Sunan Bonang mengajari Sunan Kalijaga pelajaran utama dalam hidup, yaitu tawaduk. Tawaduk itu terjemahannya bisa macam-macam. Misalnya, saya mengartikan “hidup dengan rasa berutang”. Saya merasa berutang sekali pada Gusti Allah, sehingga biar saya dihidupkan sepuluh kali pun tidak akan bisa membayar utang itu. Maka, jadinya tumbuh kepatuhan pada Allah. Untuk itu, saya rela berkeliling ke mana pun, mengisi pengajian, majelis, capek-capek, semua saya jalankan untuk menyicil utang saya pada Allah.
Kita harus tawaduk kepada Allah. Kita itu tidak punya apa-apa. Kita dijadikan, diciptakan, diberi, dilimpahi apa pun oleh Allah, dan seluruhnya itu adalah utang kita kepada Allah. Jadi, hidup kita ini adalah upaya untuk “menyicil kredit” kita pada Allah. Itu salah satu terjemahan tawaduk—yang terjemahannya sangat banyak, tinggal mau diterjemahkan di wilayah mana.
Kita harus tawaduk