Islam itu Rahmatan Lil Alamin Bukan untuk Kamu Sendiri

Noura Publishing
Chapter #2

Konsepkan Dirimu dengan Pas

Dalam budaya Jawa ada istilah

“sawang-sinawang”—berhusnuzan

dan beriktikad baik pada orang lain.

Kita tidak bisa menilai orang lain

karena kita tidak bisa apa-apa.

Hanya Gusti Allah yang bisa berbuat

apa saja. Selebihnya hanyalah animasi.

Keramat secara epistemologi berasal dari kata karâmah. Dari kata itulah kemudian muncul inna akramakum. Jadi, akram itu adalah yang lebih punya keramat. Dalam Al-Quran (QS Al-Hujurât [49]: 13) dinyatakan, “Inna akramakum ‘indallâhi atqâkum”, tapi jarang diingat bahwa dalam kalimat itu adalah ‘indallâh (di sisi Allah), bukan ‘indannâs (di sisi manusia). Maksud­nya adalah Gusti Allah secara implisit—atau ter­sirat—memberi tahu pada manusia bahwa yang mengerti keramat atau tidak keramat itu cuma Dia.

Kalau ada yang menyebut saya keramat, itu adalah doa untuk saya, tapi bukan kenyataan bahwa saya keramat.

Kalaupun ada yang keramat, itu tidak bisa diban­dingkan. Anda tidak bisa membandingkan nyamuk de­ngan lalat. Nyamuk itu, seperti itu, lalat juga seperti itu. Ada hal-hal yang bisa kita perbandingkan. Tapi ada juga sesuatu, yang sifatnya sunnatullâh, yang tidak bisa di­bandingkan. Anda tidak perlu menilai jika kambing kalah besar dari gajah. Sebab, kambing memang segitu besar­nya. Gajah juga segitu besarnya.

Allah mengatakan, “… Innallâha lâ yastahyî ay-yadhriba matsalammâ ba‘ûdhatan fa mâ fauqahâ” (QS Al-Baqarah [2]: 26). Saya tidak malu membahas nyamuk, membahas semut, karena Allah sendiri menyebutnya sebagai per­umpamaan dalam Al-Quran, untuk pembelajaran manusia. Maksudnya, Allah itu serius menciptakan tumbuhan, hewan, dan alam untuk memberi pengajaran pada manusia. ‘Allamal insâna mâ lam ya‘lam (QS Al-‘Alaq [96]: 5).

Saya ingin seperti Sunan Bonang mengajari Sunan Kalijaga pelajaran utama dalam hidup, yaitu tawaduk. Tawaduk itu terjemahannya bisa macam-macam. Misalnya, saya mengartikan “hidup dengan rasa berutang”. Saya merasa berutang sekali pada Gusti Allah, sehingga biar saya dihidupkan sepuluh kali pun tidak akan bisa mem­bayar utang itu. Maka, jadinya tumbuh kepatuhan pada Allah. Untuk itu, saya rela berkeliling ke mana pun, mengisi pengajian, majelis, capek-capek, semua saya jalankan untuk menyicil utang saya pada Allah.

Kita harus tawaduk kepada Allah. Kita itu tidak punya apa-apa. Kita dijadikan, diciptakan, diberi, dilimpahi apa pun oleh Allah, dan seluruhnya itu adalah utang kita kepada Allah. Jadi, hidup kita ini adalah upaya untuk “menyicil kredit” kita pada Allah. Itu salah satu terje­mah­an tawaduk—yang terjemahannya sangat banyak, tinggal mau diterjemahkan di wilayah mana.

Kita harus tawaduk

Lihat selengkapnya