Beragama dengan Marah
Kata marah dan ramah itu jumlah dan bunyi hurufnya sama, tapi beda letak posisinya. Sehingga konotasinya juga sangat berbeda, bahkan bertolak belakang. Kemarahan itu tidak saja muncul pada relasi sosial sehari-hari dalam urusan yang profan, dalam beragama pun kadangkala seseorang memunculkan kemarahan. Mungkin itu bisa dibenarkan, atau bahkan diperlukan, dalam waktu, tempat, dan peristiwa yang tepat. Misalnya, ketika ada seseorang yang secara terang-terangan menghina dan menodai agama, ulama—sebagai penjaga martabat agama—perlu marah. Namun, jika tidak dilandasi dasar yang kuat dan hati yang ikhlas, kemarahan hanya akan merugikan diri sendiri. Karena, kemarahan cenderung menurunkan nalar sehat.
Marah yang baik adalah yang terkontrol dan memiliki nilai edukatif, baik bagi yang marah, objek yang dimarahi, maupun publik. Dalam bahasa teologi dan kitab suci, Tuhan juga digambarkan memiliki sifat pemarah. Namun, kasih sayang-Nya, jauh melebihi kemarahan-Nya. Kemarahan Tuhan lebur dalam sifat kasih-Nya. Makanya, Tuhan mengajarkan agar setiap mengawali pekerjaan hendaknya dimulai dengan mengingat dan menyebut asma Tuhan yang Mahakasih agar niat, tujuan, dan caranya dibimbing dan dirahmati Allah.
Hal yang kadang mengusik hati dan menimbulkan tanda tanya adalah ketika ekspresi keberagamaan disampaikan dengan marah, dengan menggunakan simbol dan istilah-istilah agama, tetapi konteksnya kurang tepat. Misalnya, melakukan penyerangan dengan cara meledakkan bom bunuh diri, sementara sasaran dan korbannya belum tentu bersalah—bahkan sangat mungkin satu bangsa dan satu agama. Dengan simbol dan jargon agama, kemarahan itu mereka lampiaskan. Padahal mungkin bukan karena itu mereka marah, tapi karena merasa terpinggirkan dari dinamika politik dan ekonomi, misalnya. Atau, karena terancam dan menjadi korban, padahal korbannya pun mungkin bernasib sama secara politik dan ekonomi.