Nakoula Basseley adalah orang yang sakit fisiknya. Dari catatan kesehatannya, Nakoula diketahui mengidap hepatitis C yang mewajibkannya menyuntikkan insulin dua kali sehari. Kondisi ekonominya juga sakit, kantor pajak setempat melaporkan bahwa Nakoula berada di titik kebangkrutan, tak mampu membayar kewajiban pajaknya. Petugas federal juga melaporkan bahwa Nakoula terlibat penipuan Bank yang mewajibkan Nakoula membayar denda USD790.000. Belum lagi beberapa catatan kriminal lain yang membuat Nakoula sempat menginap 21 bulan di penjara. Hatinya juga sakit, sebagai orang Kristen Koptik Mesir, dia memiliki dendam pada umat Islam yang dianggap bertanggung jawab pada pengeboman gereja Kristen Koptik di Mesir tahun 2011.
Sebagai pernyataan politiknya, bermodal pengalamannya memproduksi film porno, Nakoula memproduksi The Innocence of Muslim. Sebuah film yang menyakiti umat Islam—yang dibuat oleh orang yang sakit. Karena merasa disakiti, jutaan umat Islam di sekitar dua puluh negara turun ke jalan bukan saja mengutuk film ini, tetapi juga mengutuk Amerika sebagai negara yang membiarkan warganya menghina agama. Associate Press melaporkan bahwa tak kurang 28 orang tewas berkaitan dengan protes ini termasuk Chris Stevens, duta besar Amerika untuk Libia dan tiga warga Amerika lainnya. Al-Qaida cabang Afrika Utara memukul genderang perang dengan melempar ancaman bagi para diplomat Amerika. Bom bunuh diri di Afghanistan yang menewaskan 12 orang juga diklaim oleh kelompok Hizb Islami sebagai respons terhadap film The Innocence of Muslim.
Sebuah film yang dibuat oleh orang sakit, telah membuat jutaan orang sakit balik menyakiti. Media juga sakit. Los Angeles Times mempublikasikan foto Duta Besar Amerika yang terluka di halaman muka. Meskipun sejumlah kritikus media dan masyarakat mengkritik pemuatan foto itu dengan menyebutnya sebagai tak layak dan tak sensitif, editor media tersebut dengan ringan mengatakan bahwa mereka memasang foto itu karena memiliki kekuatan berita. Setiap hari media menyodori publik Amerika berita yang menggambarkan umat Islam sebagai identik dengan kekerasan. Foto pembakaran bendera Amerika di Mesir, barisan anak-anak kecil berdemonstrasi di Pakistan dengan latar belakang asap hitam mengepul, hingga demonstrasi yang diwarnai bentrokan di Jakarta, dapat dengan mudah ditemui di halaman-halaman depan media besar, seperti jaringan berita Fox, CNN, dan MSNBC. Puncaknya adalah ketika Newsweek memasang gambar para demonstran Muslim di halaman muka dengan judul besar Muslim Rage.
Berita buruknya adalah bahwa 70% warga Amerika menerima dan mengunyah informasi dari media-media tersebut. Aksi damai kalangan lintas agama di Mesir tidak menarik perhatian media. Unjuk rasa simpatik para pemimpin Muslim dan Kristen Koptik di Los Angeles tak mendapat liputan yang luas. Media yang sakit memberitakan orang-orang sakit untuk menularkan penyakit. Bangsa Amerika dengan melimpahnya hak kebebasan berpendapat punya PR berat mengelola kebebasan berpendapat agar tidak menjadi kebebasan menyakiti. Kebebasan ini menjadi pisau bermata dua, karena sering digunakan oleh kelompok-kelompok ekstrem dari berbagai aliran. Tak bisa dipungkiri bahwa pemerintah Amerika masih harus berurusan dengan kelompok-kelompok ekstrem, baik bermotif agama ataupun sekuler yang mempropagandakan kebencian.