Saya tak ingat, kapan perhatian saya mulai tertarik pada persoalan cinta dalam agama. Sedang mengenai kebahagiaan, meski sesungguhnya temperamen sentimental saya tampaknya tak urung menciptakan concern ini sejak lama, ia baru menguat ketika saya sempat mengalami gejala depresi. Ya, saya memang sempat mengalami gejala depresi.
Saya menduga gejala itu lebih terkait dengan faktor-faktor biologis atau hormonal. Maklum, saat itu saya baru melewati usia setengah abad. Saya kira, itu sebuah gejala yang biasa disebut orang andropause. Pasalnya, meski hidup saya—sebagaimana hidup semua orang—bukannya tak pernah sama sekali ditimpa masalah, saya merasa Allah sangat banyak memberikan berkah kepada saya. Saya merasa telah menjadi orang cukup berbahagia sepanjang kehidupan saya. Oleh keluarga yang menbesarkan saya, ataupun oleh keluarga yang saya miliki saat ini. Alhamdulillah. Saya pun pada dasarnya adalah orang yang agak ndablek dalam hal menghadapi masalah.
Betapa pun juga, gejala depresi adalah gejala depresi. Saya harus mengatasinya. Saya pun menolak untuk pergi ke dokter dan mengonsumsi obat-obatan pemulih mood. Saya merasa, selama masih mampu, saya akan berusaha mengatasinya dengan cara lain, sambil gejala ini menghilang dengan sendirinya. Dan, alhamdulillah, memang itulah yang terjadi. Saya mencoba untuk terus kembali kepada Allah jika perasaan depresif yang amat tak nyaman itu sesekali datang (dan, ada suatu masa dalam hidup saya, sempat agak kerap datang). Saya pun berusaha menimbuni berbagai kegelisahan spiritual saya dengan mencoba mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai kegaiban yang belum bisa saya jawab. Yang tak kalah penting, saya berusaha untuk terus mengais-ngais makna yang bisa saya berikan kepada kehidupan saya karena betapa pun gejala depresi selalu melibatkan masalah tekor makna hidup. (Secara sepintas mungkin perlu saya sampaikan di sini, relatif lancarnya kehidupan saya, barangkali justru memberikan sumbangan pada terciptanya gejala depresi saya karena—dalam satu titik di kehidupan saya—saya merasa kehilangan excitement. Segala yang saya harapkan dalam hidup saya, sedikit-banyak, sudah saya capai. Maka, apalagi yang mau saya kejar?).
Saya pun karena temperamen sentimental itu, sesungguhnya sudah sejak dulu gampang jatuh iba kepada orang-orang. Bukan saja kepada orang-orang susah, bahkan kepada orang-orang berada, yang hidup sejahtera secara materiel di kota-kota—tetapi seperti kehabisan makna hidup. Termasuk ketika beberapa kali saya berkesempatan tinggal di Amerika. Entah hanya perasaan saya saja, saya merasa sesungguhnya banyak orang yang tampak sejahtera itu seperti kehilangan kegairahan hidup karena tak cukup punya makna dalam hidupnya. Sejak dulu saya selalu merasa ingin membantu orang mengatasi penderitaan dan kesengsaraan, dan mencari makna bagi hidupnya.
Saya kira, concern keagamaan dan akademik saya kepada sejenis spiritualisme atau mistisisme Islam—tasawuf—banyak juga menyumbang di sini. Mungkin secara timbal-balik dengan temperamen sentimental saya itu. Selain mencari jawab bagi kegelisahan spiritual saya, concern utama tasawuf memang adalah menjawab dahaga orang terhadap persoalan spiritual, tentang makna hidup: dari mana, untuk apa, mau ke mana. Di sisi lain, jika dipelajari dengan benar, tasawuf adalah suatu pemahaman spiritual atas agama yang didasarkan atas hubungan cinta-kasih timbal-balik antara manusia dan Tuhan, antara manusia dan sesamanya, serta seluruh anggota alam semesta.