Kebahagiaan (sa‘âdah) mewakili tujuan tertinggi umat manusia selama masa penugasan mereka di dunia ini. Mudah dibayangkan bahwa kebahagiaan adalah perhatian utama semua orang yang ada di muka bumi. Memang, setiap usaha manusia dimaksudkan untuk membantu mencapai kebahagiaan. Hal ini muncul dalam banyak ayat Al-Quran, yang menempatkan kebahagiaan hidup—baik di dunia ini maupun di akhirat—sebagai tujuan keberadaan manusia (penciptaan):
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al-Nahl [16]: 97)
Ibnu ‘Abbas, sang mufassir utama (ekseget) di antara para sahabat Nabi (Saw.), menafsirkan ungkapan “kehidupan yang baik” (hayah thayyibah) sebagai kebahagiaan (di dunia ini). Memang, jika kita menuruti sifat kita—alih-alih melanggarnya, sesungguhnya kita benar-benar diciptakan untuk kebahagiaan (falâh):
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah (aflaha) orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7-10)
Masalahnya adalah bahwa ada persepsi yang keliru di antara masyarakat Muslim, bahwa jika kita ingin bahagia di akhirat, kita harus hidup sengsara di dunia ini. Keyakinan ini—secara keliru—didasarkan pada se_buah hadis Nabi (Saw.) yang menyatakan bahwa hidup adalah penjara bagi orang beriman, dan sebaliknya ia adalah surga bagi mereka yang tidak beriman. Atau bagian lain dari apa yang sering dianggap sebagai hadis, yang menyatakan bahwa orang yang banyak tertawa di dunia ini, maka akan banyak menangis di akhirat. Maka tak heran bila ada sekelompok orang yang beranggapan bahwa orang yang imannya kuat haruslah berpenampilan muram atau melankolis. Apakah keyakinan ini benar?
Contoh yang bagus tentang bagaimana seorang Muslim yang taat menjalani hidupnya, dan hidup di dunia ini dengan sukacita, terdapat dalam kehidupan Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi (Saw.). Ia dikenal memiliki penampilan yang rapi dan bersih, menawan dan elegan. Singkatnya, enak dipandang mata. Begitu menarik penampilan beliau, sehingga menjadi sumber fitnah bagi orang-orang yang membencinya.