Rasanya, tak ada satu pun makhluk manusia yang tidak sependapat bahwa tujuan hidup manusia di muka bumi ini adalah mencapai kebahagiaan (happiness, sa‘âdah). Meski kebahagiaan bisa dipahami dalam berbagai bentuknya—ada yang melihatnya sebagai bersifat psikologis, ada yang intelektual, dan ada yang spiritual—semua sepakat pada sifatnya. Kebahagiaan menjadikan manusia merasa bukan hanya bergairah, bersemangat, dan menikmati hidupnya, melainkan terutama menebarkan ketenteraman, kedamaian, kepenuhan makna, dan kepuasan yang tak menyisakan kekosongan. Sementara, penderitaan (misery, syaqawah) sama dengan kegelisahan, kekacauan, kehampaan makna, dan kekurangan yang menganga.
Dalam tradisi Islam, kebahagiaan diungkapkan dengan kata surûr, farah, dan—secara lebih mendasar—sa‘âdah, thyb, falâh. Perlu segera disusul, kebahagiaan tidak sama dengan kumpulan kenikmatan (pleasure). Mungkin saja hidup seseorang dipenuhi kenikmatan, tetapi dia tak bahagia. Kebahagiaan juga bukan berarti ketiadaan kesulitan atau penderitaan. Karena, boleh jadi penderitaan datang silih berganti, tetapi kesemuanya itu tak merusak keberadaan kebahagiaan. Inilah yang disebut sebagai underlying happiness (kebahagiaan yang senantiasa melambari) hidup kita.
Perlu dipahami juga, kebahagiaan tak sama dengan kenikmatan sesaat, tanpa jaminan bahwa kenikmatan itu tak akan segera berganti dengan perasaan hampa, tanpa kebebasan dari kegelisahan terhadap prospek kehampaan di masa setelah itu. Dengan demikian, kenikmatan itu tak pernah betul-betul tertanam di dasar hati kita, melambari segala pancaroba kejadian yang mungkin berlangsung di sekitar hidup kita, sehingga ia terasa sebagai sekadar sesuatu yang mengambang di kedangkalan permukaan hidup kita.
Dilihat (dirasakan) melalui fundamen underlying happiness, apa saja yang terjadi di permukaan hidup kita akan masuk ke hati sebagai sesuatu yang memberi makna positif kepada diri kita, menenteramkan, dan membahagiakan. Dapat saja saat ini kita sedang tertimpa kesulitan dan kesedihan, tetapi keyakinan bahwa kehidupan kita bersifat baik, positif, dan menyejahterakan tak akan terganggu karenanya. Kebahagiaan memberikan bayangan kedamaian dan ketenteraman yang lebih lestari. Ini sebabnya, sebagian orang mengidentikkan kebahagiaan dengan “kebaikan-kebaikan yang lestari” (al-baqiyat al-shâlihât) sebagaimana difirmankan-Nya: