Islam Sejati, Islam dari Hati

Noura Publishing
Chapter #1

Meneladani Nabi dalam Hati, Pikiran, dan Tindakan

Sebelum menghormati kelahiran (maulid) jun­jung­an kita, Nabi Muhammad Saw., serta mengikuti ajaran dan meneladaninya, hal yang harus kita siapkan terlebih dulu adalah hati dan pikiran kita. Karena, ternyata tidak semua orang, bahkan tidak semua orang Islam, mampu meneladani beliau secara utuh. Ada syarat di dalamnya, seperti difirmankan Allah Swt., Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah (QS Al-Ahzâb [33]: 21).

Rasulullah Saw. adalah teladan, tetapi untuk siapa? Seperti dikatakan pada ayat tadi, beliau adalah teladan untuk orang yang punya pengharapan terus-menerus kepada Allah Swt. Dia merasa hidupnya milik Allah Swt. Dia datang dari Allah Swt., diproses oleh-Nya, dan kembali kepada-Nya. Perasaan seperti ini harus ada. Kalau tidak, maka cerita Rasulullah Saw. tinggal dongeng tentang beliau saja, tidak bisa kita resapi dan maknai dengan baik.

Rasulullah Saw. juga teladan untuk orang yang percaya Hari Akhir (Kiamat). Orang yang memiliki kesadaran bahwa kelak dia akan segera pergi menuju akhirat, tempat seluruh tindakan kita dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.

Rasulullah Saw. juga teladan untuk orang yang banyak mengingat Allah Swt. (zikir). Pada ayat di atas, Allah Swt. menegaskan dengan kata “katsîran” (banyak). Suatu ketika, seorang santri bertanya pada kiainya, “Apakah yang dimaksud dengan banyak berzikir itu, seseorang tidak boleh bekerja, tidak pergi ke sawah atau ke kantor? Apakah juga berarti tidak boleh mencari nafkah dan mencari ilmu? Kenapa kita disuruh banyak berzikir, yang berarti lebih dari separuh waktu hidup kita diisi hanya dengan berzikir?” Kiai terkenal ini—Imam Zainuddin Abdul Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali r.a., yang dikenal sebagai sang Hujjatul Islam—menjawab, “Tidak begitu pengertiannya. Zikir itu adalah ingat kepada Allah Swt., bisa ingat dengan lisanmu, dengan akalmu, dengan hatimu, dan dengan tindakan amalmu.” Kalau ingat dengan lisan, berarti membaca wirid lâ illâha illallâh, lâ illâha illallâh (tidak ada Tuhan selain Allah).

“Zikir itu adalah ingat kepada Allah Swt., bisa ingat dengan lisanmu, dengan akalmu, dengan hatimu, dan dengan tindakan amalmu.”

-Imam al-Ghazali r.a.-

Ketika kita berpikir menggunakan akal, apakah itu ingat Allah Swt. atau tidak? Karena, orang pintar itu ada dua macam; ada orang yang pintar saja (intelektual), ada juga orang pintar sekaligus benar. Orang yang pintar saja adalah orang yang ilmunya banyak. Kalau orang yang pintar dan benar adalah orang yang ilmunya banyak sekaligus digunakan dengan benar. Ilmunya menjadi bermanfaat. Kalau manfaatnya terus dirasakan maka menjadi cahaya hidup. Kita berdoa semoga ilmu yang kita miliki bermanfaat. Tidak cukup mengaminkan doa ini, tetapi harus ada yang dilakukan (action). Sebagai contoh, selain mendoakan kebaikan untuk ibu dan ayah kita, serta agar rezeki yang diberikan kepada kita halal, kita juga mesti mengontrol tindakan kita.

Imam Ibn Athaillah r.a. mengatakan bahwa ilmu akan bermanfaat jika diiringi dengan khasyyatullâh (takut kepada Allah). Khasyyah artinya takut dengan menaati. Kalau hanya takut saja disebut khauf. Selama orang itu taat kepada Allah Swt., maka setiap ilmu yang menetes akan tumbuh menjadi ilmu yang bermanfaat. Tidak ada bedanya, ia itu ilmu umum atau ilmu agama, sama saja. Karena, semua ilmu itu hakikatnya berasal dari Allah Swt.

Kiai Halawani mengatakan bahwa Al-Quran memiliki ayat sejumlah enam ribu lebih. Kemudian ayat-ayat tersebut dibagi-bagi menjadi ayat tentang hukum, sejarah, ibadah, muamalah (relasi sosial), negara (pemerintahan atau politik), alam gaib (metafisik), dan alam zahir (fisik). Kalau alam zahir ini diselidiki, maka akan tumbuh ilmu sendiri. Karena, pada setiap benda ada ilmu yang dititipkan Allah Swt. Kalau ilmu itu digali, tidak akan pernah habis. Air, misalnya, bagi orang yang tidak memiliki ilmunya, ia dilihat semata-mata sebagai air. Namun, bagi orang yang meneliti kandungannya, ia bisa menjadi bom, hidrogen namanya. Inilah yang diistilahkan Allah Swt. dengan “iqra’” (bacalah), tetapi diikuti “bismirabbika” (dengan nama Tuhanmu). Iqra’ artinya bacalah; yang dibaca adalah ayat Allah Swt., baik itu berupa bukti kekuasaan-Nya, maupun rahasia-Nya yang ditempelkan pada seluruh benda-benda fisik. Allah Swt. berfirman, Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah (QS Al-Baqarah [2]: 115).

Semakin bertambah objek yang diselidiki, ilmu juga akan semakin bertambah, tidak ada habisnya. Fisik manusia (biologis), misalnya, kalau diselidiki lebih jauh menjadi ilmu kedokteran. Kalau tidak ada manusia, mana bisa tukul (tumbuh); tidak akan tumbuh ilmu pada diri seseorang. Jika ilmu itu tumbuh, maka jadilah ilmu kedokteran. Kalau ilmu itu masih taraf kedokteran, itu masih rendah, baru tingkat dokter umum. Kalau ingin lebih tinggi lagi, harus spesialis. Tidak semua dokter bisa ke tahap itu. Spesialis berarti khusus; spesialis mata berarti hanya menangani mata, spesialis gigi berarti hanya gigi. Mungkin juga ada spesialis idep (bulu mata) saja. Atau spesialis-spesialis lainnya. Jadi, mungkin ada dokter spesialis bulu di situ. Jadi, semakin ilmu dikejar tinggi, semakin tidak ada habisnya. Semakin didalami, semakin tidak tahu dalamnya. Subhânallâh ‘adada mâ khalaqa (Mahasuci Allah sebanyak makhluk-Nya).

Ilmu agama, kalau tidak dibarengi dengan amal agama dan khasyyatullâh, hanya jadi berita agama. Banyak orang yang mengerti agama, tetapi amal agamanya tidak seperti ilmu agamanya. Apakah ada yang seperti itu? Banyak. Semua mengerti kalau shalat itu sehari lima kali, tetapi banyak yang melakukannya lima hari sekali. Sudah mengerti sesuatu itu haram, tetapi dengan dalih-dalih tertentu, tiba-tiba berubah jadi tidak haram. Hal ini terjadi karena dia mengerti tetapi tidak ada khasyyatullâh di situ.

Salah satu kegunaan (fungsi) tarekat adalah mem­bim­bing orang dari ilmu pengetahuan menjadi rasa dan pemi­lik­an, menjadi khasyyatullâh. Orang yang bersekolah umum, tetapi tidak memiliki khasyyatullâh, dia akan menyeleweng dengan ilmunya. Kita lihat, banyak hakim malah diadili, banyak jaksa dituntut, banyak polisi disidik, banyak hansip diamankan, juga satpam ditangkap. Ini bagaimana ceritanya, apa mereka kurang pintar? Padahal mereka itu sarjana hukum, kenapa bisa dihukum? Jadi sebetulnya, apa yang kurang dari mereka? Bukan ilmu hukumnya, melainkan tidak ada khasyyatullâh yang membungkus ilmu hukumnya.

Ada ilmu yang bermanfaat. Ada juga ilmu yang mubazir, yaitu ilmu yang banyak, tetapi tidak terasa manfaatnya. Hal ini terjadi, karena ilmu yang dimiliki tidak menancap kepada khasyyatullâh, tetapi kepada hati yang kosong. Akibatnya, gerakan ilmu itu juga menjadi kosong. Pintar tetapi pelupa, karena ketika hatinya guncang ilmunya pun hilang. Saya punya teman seorang doktor. Doktor itu titel yang paling tinggi. Doktor ini pintar hanya kalau di sekolah. Sampai di rumah, dimarahi istrinya, langsung jadi bodoh mendadak. Rupanya banyak istri yang dapat membuat laki-laki jadi merasa bodoh. Cerita seperti ini juga terjadi pada kiai. Sekalipun kiai, terkadang ada takutnya juga pada istrinya. Ini cerita rahasia, tidak perlu diungkap. Ini sekadar guyon. Kiai itu kalau menghadapi pejabat tinggi tidak pernah takut, tetapi kalau menghadapi istrinya belum tentu berani.

Jadi, ketika hati guncang, ilmu pun menjadi oleng. Kalau hatinya jahat, ilmu pun berubah menjadi kejahatan. Indonesia ini rusak dan ruwet sesungguhnya bukan karena orang bodoh, melainkan karena banyaknya orang pintar tetapi tidak benar. Kita lebih kekurangan orang benar daripada orang pintar. Orang pintar dikeluarkan oleh universitas, lantas siapa yang memproduksi orang benar di Indonesia? Tidak lain tempatnya pada khasyyatullâh. Sekalipun mengerti ilmu agama, jika tidak ada khasyyatullâh, fiqihnya bisa dipakai sekehendak hati.

Ada cerita guyon. Di Kediri ada acara bahtsul masâil (pembahasan masalah keagamaan) tentang rokok. Pada pembahasan itu diputuskan bahwa rokok dihukumi makruh tahrîm (makruh yang mendekati haram). Rupanya, yang ikut bahtsul masâil ada yang punya pabrik rokok. Dia mengatakan, “Kalau rokok saya dimakruhkan, kantor NU tidak akan jadi. Sebab, kantor dibangun dari hasil pabrik rokok saya.” Pabrik rokok itu namanya Minna. Katanya, “Coba dirundingkan lagi di bahtsul masâil.” Akhirnya, bahtsul masâil mendapat kesimpulan baru; hukum rokok adalah makruh tahrîm, kecuali rokok Minna. Dilengkapi dengan alasan yang bermacam-macam.

Salah satu kehebatan ulama kita (NU) adalah keluasan ilmu mereka. Selalu ada aspek fiqih, dakwah, dan tasawuf di dalamnya. Alhamdulillah, saya sudah keliling ke mana-mana, dan tidak ada organisasi yang isinya selengkap NU. Saking lengkapnya, sehingga membuat orang NU tidak bisa menjalankan semua. Ibaratnya orang yang masuk restoran yang menyediakan semua makanan. Inginnya melahap semua makanan, tapi baru makan beberapa sudah kekenyangan.

Coba perhatikan baik-baik, ulama Timur Tengah menyukai fiqih, tetapi terkadang tidak suka tasawuf. Kalau bicara fiqih harus jelas; halal atau haram. Begitulah fiqih, tidak bisa diutak-atik demi alasan tertentu. Jika sudah tepat, ya sudah. Namun, selain fiqih ada dakwah yang bukan soal hukum halal-haram melainkan bagaimana cara menarik orang yang berada pada sesuatu yang haram berpindah pada sesuatu yang halal. Inilah dakwah. Oleh karena itu, ulama kita tidak suka mengkafirkan, menyebut orang sebagai musyrik, atau membid‘ahkan orang dan menganggapnya dhalâlah (sesat) sehingga masuk neraka. Semua orang masuk neraka, yang masuk surga hanya dia. Apa dia tidak takut masuk surga sendirian? Padahal luasnya surga itu, seperti dikatakan Allah, Surga yang luasnya seluas langit dan bumi (QS Âli ‘Imrân [٣]: ١٣٣). Jadi, surga itu sama dengan alam semesta yang sekarang, bukan sama dengan dunia. Seluas alam semesta itu jangkauan rentangnya.

Lihat selengkapnya