Rasulullah Saw. tidak hanya meneladankan ilmu tetapi juga meneladankan kehidupan, baik kehidupan di sini (dunia), kehidupan dunia antara (barzakh/alam kubur) maupun kehidupan akhirat. Namun, ternyata tidak semua kita mampu secara maksimal meneladani beliau. Bahkan, banyak orang Islam yang kurang meneladani beliau. Ini disebabkan untuk meneladani beliau diperlukan suasana batin yang memungkinkannya meneladani beliau.
Suasana batin haruslah suasana yang selalu mengharapkan ridha Allah Swt. Orang yang merasa mampu hidup sendiri, mampu lahir sendiri, mampu mengurus urusannya sendiri, dan mampu mengurusi kematiannya sendiri adalah orang yang merasa tidak memerlukan Allah Swt. Hal ini tentu menjadi kendala untuk mengikuti teladan yang baik dari Rasulullah Saw.
Selain suasana batin, dia juga harus sadar bahwa hidup di sini sejatinya dalam rangka menuju akhirat. Akhirat adalah tempat pertanggungjawaban seluruh aspek kehidupan kita, baik itu keilmuan, harta benda, status, peluang, maupun yang lainnya. Ketika kita merasakan bahwa semua harus dipertanggungjawabkan kepada Allah Swt., akan mudah bagi kita meneladani Rasulullah Saw.
Di sini, kita akan membicarakan perihal meneladani integritas karakter Rasulullah Saw. sebagai insan kamil dalam membangun karakter bangsa. Untuk kiai, mungkin ini terlalu muluk, padahal tujuannya adalah agar tercipta baldah thayyibah wa rabbun ghafûr (negara yang baik dalam naungan Allah Yang Maha Pengampun). Inilah bedanya kiai dengan intelektual (cendekiawan). Kalau kiai itu suka menyampaikan sesuatu yang sulit dengan cara yang mudah, kalau intelektual itu suka menyampaikan sesuatu yang mudah dengan cara yang sulit-sulit.
Ada tiga episode yang bisa kita jadikan patokan gambaran keteladanan Rasulullah Saw. Pertama, turunnya wahyu di Gua Hira. Kedua, Isra’ dan Mi‘raj yang melengkapi ibadah kita kepada Allah Swt. Ketiga, hijrah Rasulullah Saw. yang menggeser dan melengkapi hablum-minallâh (hubungan vertikal) menjadi tembus sampai hablum-minan-nâs (hubungan horizontal), baik dalam masalah-masalah tata nilai kemasyarakatan (sosial) maupun tata nilai kenegaraan (politik) yang disusun sendiri oleh Nabi Muhammad Saw.
Kita mulai dari yang pertama. Ayat-ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah Saw. adalah sebagai berikut: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (QS Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Ayat-ayat ini berisi dua hal: keimanan dan keilmuan. Allah Swt. adalah Maha Esa. Selain Allah bukanlah Dia, melainkan makhluk-Nya. Selain Allah adalah alam. Tidak ada unsur ketuhanan dalam alam dan tidak ada unsur kealaman dalam Dzat Tuhan. Ini tidak boleh meleset dalam hati dan pikiran umat Muhammad Rasulullah Saw. Kita bergaul dengan orang lain, tentu ini adalah kewajiban, karena kita hidup bermasyarakat. Namun, lâ ilâha illallâh (tidak ada Tuhan selain Allah) jangan bergeser dari hati kita masing-masing.
Hal kedua, posisi manusia pada Allah Swt. dijelaskan secara jelas. Manusia langsung diperintahkan untuk mencari ilmu dengan kata-kata iqra’ (bacalah), padahal Rasulullah Saw. tidak bisa membaca. Meski begitu, wahyu yang pertama justru menyuruh beliau untuk membaca.
Rasulullah Saw. tidak bisa membaca mempunyai hikmah besar yang tidak boleh disamakan dengan kita. Karena beliau tidak bisa membaca, berarti apa yang keluar dari beliau orisinal bukan karena referensi dari mana pun; apa yang beliau sampaikan adalah dari Allah Swt. Jadi, tidak ada duplikasi (contekan) dalam ajaran beliau. Kalau kita, tidak bisa membaca dan menulisnya memang karena bodoh. Oleh karenanya, kekhususan Rasulullah Saw. jangan disamakan dengan keadaan kita.
Hal yang menarik di sini adalah pada perintah membaca, namun tidak dijelaskan membaca apa (objek bacaan), tidak dijelaskan pula dengan apa kita membaca (metode bacaan). Menurut kaidah-kaidah ilmu ushûl fiqih, kalau ada perintah tetapi tidak dijelaskan diperintahkan untuk apa, berarti diperintah secara umum (global). Iqra’ saja. Ya sudah, baca saja. Menurut berbagai macam tafsir yang mu‘tabar, yang autentik, ada beberapa hal yang harus manusia baca. Pertama, membaca ajaran Allah Swt., ayat-ayat-Nya. Kedua, membaca bukti (dalil) kebenaran ajaran itu, karena bukti itu ada di mana-mana hanya saja kita tidak melihatnya, karena penglihatan mata kita tidak diiringi dengan mata batin kita. Allah Swt. berfirman, Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS Al-Dzâriyât [٥١]: ٢٠-٢١).
Dunia ini penuh dengan bukti kebenaran ajaran, bahkan dalam dirimu sendiri (manusia). Bagaimana bisa kamu tidak melihatnya? Allah Swt. mengatakan, Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan (QS Al-Baqarah [٢]: ٢٨). Masihkah kamu ingkar kepada Allah Swt., padahal kamu asalnya mati, yakni ketika berada di kandungan sebelum empat bulan, kemudian Dia menghidupkan kamu? Jadi, ruh itu datang setelah jasad sehingga ia kemudian hidup. Selanjutnya, dimatikan lagi. Lalu, dihidupkan lagi, dikembalikan kepada Allah Swt.
Orang yang merasa mampu hidup sendiri, mampu lahir sendiri, mampu mengurus urusannya sendiri, dan mampu mengurusi kematiannya sendiri adalah orang yang merasa tidak memerlukan Allah Swt.