Kita bersyukur kepada Allah Swt. karena para pembawa Islam pada Abad Pertengahan masuk ke Indonesia dengan membawa konsep yang lengkap. Ada ajaran tentang tauhid, tentang ibadah, tentang syariat, tentang muamalah, tentang ilmu fiqih, tentang ilmu dakwah, dan tentang ilmu tasawuf. Ada juga ajaran tentang jihad fî sabîlillâh. Meskipun demikian, semua itu dirangkai dengan aturan yang serasi, tidak bertabrakan antara satu dengan yang lainnya.
Para pembawa Islam di Indonesia itu mengajarkan Islam tidak melalui kekuasaan tetapi melalui budaya, al-tsaqâfah. Juga melalui kesejahteraan masyarakat, al-iqtishâd (ekonomi) serta melalui ilmu dan pemikiran. Sehingga, meskipun kekuasaan silih berganti, umat Islam yang di bawah (grass roots) tidak guncang karena pergantian itu. Inilah bedanya dengan Islam di Andalusia yang masuk melalui proses perang. Ketika kekuasaan dipegang umat Islam, Islam tersiar luas. Namun, ketika kekuasaan berganti, hilanglah semuanya. Ini menjadi pelajaran untuk kita. Marilah Islam ini kita kaitkan pada ilmu, pada kesejahteraan rakyat dan pada kebudayaan. Jangan dikaitkan pada pilkada, sebab kalau menang sombongnya masya Allah, kalau kalah subhânallâh.
Hal yang ingin saya ketengahkan di sini adalah para pembawa ajaran Islam itu mempunyai daya tarik yang sangat tinggi karena kesufiannya. Mereka tidak menginginkan apa-apa untuk diri mereka, tetapi diri merekalah yang didedikasikan untuk umat dan untuk Allah Swt. Proses ini melalui proses tasawuf. Bagaimana seseorang berjuang untuk perjuangan, bukan berjuang untuk dirinya sendiri. Seperti difirmankan Allah Swt., Dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah (QS Al-Taubah [9]: 41).
Berjuanglah kamu di jalan Allah Swt. dengan menggunakan hartamu dan dirimu. Apa saja yang ada dalam diri itu? Ada pikiran, ada tekad, ada keberanian, ada persatuan. Selanjutnya, berjuanglah dengan hartamu. Belakangan ini kerap kali terbalik, bukan berjihad di jalan Allah Swt. dengan hartanya, malah berjihad di jalan-Nya untuk mendapatkan harta. Banyak yang berjuang untuk mencari harta, bukan dengan mengorbankan harta.
Ilmu tentang hukum Islam dalam agama kita disebut ilmu fiqih. Dari situ muncul hukum halal, haram, makruh, syubhat, wajib, sunnah muakkad, dan sebagainya. Itu adalah ilmu tentang Islam. Namun, bagaimana caranya agar ilmu itu berubah menjadi akhlak kita? Itu tidak cukup hanya dengan mendengar pengajian. Di sini, kita perlu memulai proses lain, yakni kerelaan kita kepada Allah Swt., terhadap syariat-Nya. Dalam hal ini sangat bergantung pada posisi hati kita, bukan posisi pengetahuan kita.
Oleh karena itu, orang alim pada zaman dulu rata-rata sufi, ahli tasawuf. Bahwa tasawuf itu mengikuti tarekat tertentu, silakan saja, asal mu‘tabarah (autentik). Orang sufi itu dalam menyampaikan ilmunya, menerangkan bahwa sesuatu itu halal dan haram, betul-betul lillâh (karena Allah). Ketika hukum itu diminta untuk diubah, dia tidak akan mau. Dia akan mengatakan bahwa hukum ini bukan dari dirinya, bukan dari nafsunya, bukan dari pikirannya, melainkan dari Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‘i pernah dipenjara selama dua tahun karena membela keputusan hukumnya.
Menetapkan hukum adalah salah satu masalah fiqih. Namun, kejernihan hati dalam menentukan hukum itu bukan fiqih, melainkan tasawuf. Sekarang, mereka yang sama-sama orang alim dalam ilmu fiqih, dengan hati yang tidak sama, jawaban bisa tidak sama. Orang bertanya kepada kiai mengenai hukum sesuatu. Kiai menanggapi, Anda minta yang mana? Ingin minta yang berat ada, yang cukup juga ada. Kenapa bisa begitu? Kadang-kadang hukum itu berubah sesuai dengan kepentingan orang, bukan kepentingan Allah Swt. Fungsi tasawuf untuk membereskan hal-hal seperti ini.
Seorang sufi tidak mesti berada di tempat sepi ataupun di tempat ramai, tergantung kualitas dan kebutuhan masing-masing.
Jadi, hukum itu belum selesai. Ia baru selesai ketika keikhlasan yang menyangga hukum itu muncul. Baik hukum agama maupun hukum umum, sama saja. Kalau ahli hukum, semestinya membela hukum. Namun, pada kenyataannya tidak semua ahli hukum membela hukum. Ada yang jadi makelar hukum, ada yang jual-beli hukum, ada juga yang sarjana hukum malah dihukum. Jadi, sebetulnya di mana letak perbedaannya? Tidak lain adalah di posisi hatinya. Posisi hati inilah proses tasawuf, sedang ahli hukum adalah bidang keilmuannya. Jadi, ahli tasawuf itu tidak tertutup kemungkinan adalah seorang yang ahli di bidang lain; yang penting dia bisa membereskan hatinya. Meskipun pedagang, dia pedagang sufi. Atau, dia sebagai petani, tetapi petani yang sufi. Kalau dia jadi umara (pejabat pemerintah atau pengambil kebijakan), dia umara yang adil. Jadi, tasawuf itu bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan bergabung dengan sektor-sektor ilmu yang lain.
Pada zaman dulu para ahli dalam ilmu pengetahuan umum, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan yang lainnya, mereka adalah para sufi. Mereka kemudian memikirkan ilmu alam, ilmu aljabar, dan lain-lain. Khalifah al-Manshur adalah seorang raja, tetapi dia juga seorang sufi. Kalau pekerjaannya di kantor sudah selesai, lampunya dimatikan, sebab yang membayar lampu itu adalah negara. Kalau sedang tidak bekerja dia berada di rumah saja, tidak mau di kantor. Jadi, dengan kesufian ini maka orang akan menjadi saleh di bidangnya masing-masing.
Di sekolah-sekolah, ada ilmu tasawuf. Di fakultas-fakultas perguruan tinggi juga ada pelajaran ilmu tasawuf. Ada pula dosen tasawuf. Dosen tasawuf itu belum tentu sufi. Karena, orang yang mengerti ilmu tasawuf belum tentu menghayati dan mencapai tingkat sufi. Kalau seorang sufi ketika diberi uang oleh seseorang, dia akan mempertanyakan dari mana asal uang itu dan untuk apa diberikan padanya. Ini agar jelas kehalalannya. Apakah itu bekal untuk biaya mondok, atau untuk tasyakuran, atau untuk yang lain. Itu harus jelas. Atau, apakah itu untuk dagang atau barter, semuanya harus jelas. Nama uangnya harus jelas. Tapi kalau dosen tasawuf belum tentu begitu. Mungkin dia sufi, tapi mungkin juga bukan. Kalau dosen tasawuf, bisa marah-marah hanya karena mahasiswanya datang terlambat, “Saya sudah mengajar, kok baru datang.”