ISSUES

Athar Farha
Chapter #3

Sidang Pengadilan

Aku kembali masuk ruang tunggu dengan mata sembap. Jujur saja selain dilema persoalan batin, pikiranku juga lelah memikirkan siasat sidang ulang serba mendadak. 

Jadi, saat Pras menelepon seminggu lalu itu, dia membeberkan beberapa peristiwa—selain persidang yang rancu dengan menyelesaikan perkara hanya 'sekali persidangan', dan juga terkait 'putusan vonisnya'.

Pras kala itu keberatan dengan putusan hakim yang disampaikan Hakim Ketua. Vonis hukuman baginya terlalu banyak berat. Maka dari itu, Pras membeberkan hal baru dengan bersumpah bahwa sesuatu yang baru dibeberkannya ialah fakta. Entah nyata atau ingin mengecoh, tindakan itu mengakibatkan kericuhan seluruh pengunjung sidang.

Dan tidak cuma itu, aku juga mendapat informasi dari berita yang disebar oleh media massa. Ada berita yang memuat kesaksian pria berkacamata. Pria itu rupanya wartawan tv lokal, yang katanya sedang mau meliput peristiwa untuk dijadikan berita, tetapi awalnya tidak bermaksud meliput hal-hal di gedung pengadilan. Tidak lama kemudian, kericuhan sidang terdengar olehnya, maka spontanitas dia meliputnya, yang mana dia tidak tahu kalau itu sidang yang sengaja dibuat tertutup dari publik. Video siarannya mendapat banyak atensi penonton. Kasus Pras yang ditangani dengan rancu dan diduga penuh kecurangan pun viral.

Warganet melalui akun media sosialnya, mengomentari keputusan vonis yang dijatuhkan dalam sekali persidangan. Warganet juga mencoba menganalisis kelogisan jalannya persidangan, yang mana kala itu, telah terdengar masif perihal berita: Tidak ada advokat yang mau mendampingi Pras.

Permasalahannya, advokat, bukan tentang dibayar atau tidak, toh bisa juga mendapat pendampingan advokat secara cuma-cuma melalui instansi pengadilan yang menangani kasusnya. Hal ini pun menjadi konspirasi yang ramai dibahas. Bahkan, tingkah Pras di tengah persidangan yang berkoar-koar menyampaikan 'hal baru' itu, dengan bilang; TERPAKSA MENGAKU SENGAJA MEMBUNUH, pun tak luput diperbincangkan banyak masyarakat. Lebih-lebih tingkah para penegak hukum dan seluruh jajarannya, yang tampaknya memang merencanakan sidang kilat.

Andai saja wartawan berkacamata itu tidak iseng ke sana, mana mungkin sidang bisa begitu saja diulang kayak mengulang adegan film favorit. Sidang ulang terjadi oleh desakan publik, juga dikarenakan pengakuan Pras yang mengubah pernyataan dari SENGAJA MEMBUNUH menjadi TERPAKSA MENGAKU SENGAJA MEMBUNUH, dan dikarenakan adanya indikasi KECURANGAN para penegak hukum sehingga hak-hak Pras terampas begitu saja.

Dan hal-hal barusan, yang tidak disangka-sangka olehku, menjadi pengecualian, di mana sidang ulang Pras, bisa diajukan tanpa harus melalui proses banding terlebih dahulu. Sangat jarang terjadi, tetapi terjadi di sini. Yah, mengingat prosedur sidang ulang di negara ini cukup kompleks.

Aku pun ditelepon Pras, dan tanggal sidang ulang pun ditetapkan. Sehari setelah terpaksa menyetujui menjadi pengacaranya, aku sibuk mengurus perizinan pindah praktik kerja ke Pengadilan Negeri Purbalingga karena surat izin yang dahulu masih tercantum sebagai advokat aktif wilayah Jakarta.

Dua petugas mengawal langkah Pras di koridor, saat hendak memasuki ruang persidangan. Aku di belakang mereka seraya menjinjing tas. Ketika mereka berhenti di depan pintu masuk khusus bagi petugas dan dewan penegak hukum, aku menyibak salah satu petugas. Langkahku tidak melambat, pun tidak menoleh. Aku cepat-cepat ke pintu masuk khusus pengunjung persidangan, yang terletak di sisi lain ruang sidang. 

Di dalam ruang sidang, ada banyak sekali pengunjung termasuk wartawan. Dua kubu berkumpul—kemungkinan keluarga serta kerabat-kerabat terdekat korban dan para simpatisan Pras—lebih didominasi pendukung korban.

Ruangan sidang terbelah jalan khusus yang memisahkan deretan bangku mengilat kecokelatan di antara dua belah pihak. Terdapat sekat pembatas sepanjang sekian meter membelah ruang persidangan. Untuk menjaga kekhidmatan persidangan, juga memisahkan para dewan keadilan dengan pengunjung persidangan.

Aku tersenyum ketika melihat wanita itu duduk di bangku pengunjung terdepan, Ibu Sarti. Aku menghampirinya dan langsung duduk di sebelah kirinya, kemudian meletakkan tas di bangku sebelahku yang masih kosong dan memeluknya. 

“Apa kabar, Bu?” tanyaku usai melepas pelukan. 

“Baik,” jawabnya lirih.

Aku merasa beliau tengah berdusta karena matanya tampak kosong dan berkaca-kaca.

“Tenanglah, Bu.”

“Maafkan ibu, ya. Oh, iya, bagaimana kabarmu?” Dia mengelus rambut panjangku yang bergelombang agak kemerahan. “Kamu tambah cantik,” pujinya seraya mengelus wajahku yang berlesung pipi. “Ibu senang kamu sudah sukses,” pungkasnya seraya mengamati simare dan toga advokat, yang keseluruhan berwarna hitam, lagi kukenakan

“Sehat, Bu. Maaf untuk apa?”

Beliau tersenyum kaku. Semenjak peristiwa silam memilukan itu, dia kini terlihat semakin kurus pada usia 40 tahunan. Wajah tirusnya agak mengeriput dengan bercak-bercak hitam menghias di sekitar hidung. 

“Lupakan saja.” Aku tersenyum. Paham maksud permintaan maaf itu. 

“Terima kasih, Ras. Oh, iya, bagaimana kabar anakmu? Sekarang umur berapa? Maklum, Ras, udah tua. Jadi lupa umur anakmu.”

“Anakku sehat. Dia perempuan. Usia tujuh tahun.” Aku kembali menyunggingkan senyum. 

Sesaat aku mengamati orang-orang yang menjadi simpatisan Pras. Kami ternyata duduk ditemani sepuluh simpatisan berpakaian biasa, lusuh, juga kuno. Tidak semua kukenal, tapi sebagian berasal dari Desa Patemon. Desa itu merupakan kawasan pertanian di dataran rendah. Dan sebelum lokasi pembuangan akhir sampah dipindah, daerah itu sering dilintasi truk sampah dari berbagai distrik. Saat pagi atau sore jika cuaca mendukung, warga setempat pasti terpana melihat kemunculan Gunung Slamet. Yah, dahulu, itu tempat tinggalku sebelum pindah rumah menuruti kemauan suami.

Ponselku bergetar. Ada pesan singkat masuk. Mataku kemudian liar mencari si pengirim pesan. Dia berasal dari kubu korban yang merata berpakaian serba hitam. 

Sial. Itu dia. Mataku mengejang melihat pria berpostur tinggi dengan bekas luka di bawah daun kuping kiri. Kita pernah kuliah satu jurusan dan sempat akrab. Brathias menatap sinis tepat ke arahku. Aku nyaris kendur melihatnya mengenakan toga advokat.

“Bu ...,” ucapku kala membuang muka dari tatapan Brathias.

“Iya, Ras. Ada apa?”

“Sebentar lagi sidang ulang dimulai.” Aku berdiri sambil menenteng tas. Sesaat menatapnya penuh makna, lalu berpaling, lantas melangkah mendekati pintu sekat pembatas. 

Brathias kembali mengentak keteguhanku tatkala mengikuti langkahku. Kami menuju meja advokat masing-masing; terletak pada sisi kiri-kanan dari meja hakim. Aku duduk di kursi yang telah disiapkan dan meletakkan tas di atas meja. Sesaat aku menoleh pada kursi khusus terdakwa, tempat Pras nantinya.

Perhatianku sekarang terfokus pada rombongan Jaksa Penuntut Umum memasuki ruangan. Di belakangnya diikuti perempuan berkacamata. Wajahnya tampak tak asing. Oh, iya, dia Panitera Pengganti; bertugas sebagai protokol. Perempuan itu melangkah tenang dengan ekspresi datar. Para Jaksa Penuntut Umum juga duduk di kursi masing-masing.

Kira-kira dua menit kemudian terdengar suara perintah dari Panitera Pengganti. “Para hadirin harap berdiri. Majelis Hakim dipersilakan memasuki ruangan.” 

Semua orang di ruangan pun berdiri. 

Para Majelis Hakim bertoga lengkap dengan simare merah memasuki ruang persidangan.

Sosok di tengah itu, Hakim Ketua berumur lebih dari 50 tahun. Dia telah duduk di tengah singgasana. Wibawa dan gaya berjalannya tadi, tampak mencolok saat memasuki ruang sidang. Kulit pada ujung dagunya menggelambir. Dia didampingi Hakim Anggota I di sebelah kanan, dan Hakim Anggota II di sebelah kiri, yang juga sudah duduk.

Panitera Pengganti kembali bersuara, “Para hadirin dipersilakan duduk kembali.”

Suasana menjadi hening. Hakim beserta kawanan telah menduduki singgasana di atas papan menjulang sekian senti.

Dari area advokat sekilas aku memperhatikan Ibu Sarti yang agak gelisah. 

Di area simpatisan korban. Aku merasa ada wajah-wajah penuh kemarahan. Anehnya setiap kali kutatap mereka, wajah simpatisan berubah datar. Ada satu paling tenang di antara simpatisan korban; Pria plontos berkacamata hitam, bertato naga pada rahangnya. Ekspresi kaku wajahnya menjadikannya terkesan misterius. Postur tubuhnya tidak setinggi Brathias. 

Hakim Ketua berdeham. Suaranya terdengar cukup mengentak. Sepersekian detiknya mulai membacakan lembaran kertas berisi perihal sidang yang memeriksa dan mengadili perkara pidana pembunuhan. Lengkap dengan nomor perkara dan tahun pelaksanaan. Tanggal dua Januari, sidang lanjutan resmi dibuka untuk umum atas nama terdakwa: Prasetyo. Hakim lantas mengetukkan palu tiga kali. Sidang ulang telah dimulai. 

Sesaat aku menyempatkan diri menengok ke area pintu masuk pengunjung. Kerumunan wartawan membidik gambar lewat kamera.

Lihat selengkapnya