Aku menghentikan laju mobil karena lampu rambu lalulintas menyala merah. Sejenak mataku melirik spion mobil; deretan mobil dan motor mengular di Perempatan Lampu Merah Sirongge. Selama menunggu nyala lampu hijau, entah mengapa kenangan demi kenangan menyembul begitu saja.
∆
Bertahun-tahun yang lalu. Minggu pertama bulan Juli, seingatku, kabut tebal menyelimuti Desa Patemon. Pagi itu, merupakan hari ketujuh belas aku dan orangtuaku pindahan dan tinggal di desa tersebut.
Kami sebenarnya sering pindah tempat tinggal. Berhubung ayah sebagai arsitek mendapatkan proyek di kota kelahirannya—termasuk kota kelahiranku—kami pun menetap dengan menumpang di kediaman orangtua beliau—kakek dan nenekku.
Dan pagi itu, aku beserta remaja-remaja berseragam putih abu-abu, berjalan kaki menyusuri Jalan Kutabaru ke arah barat—jalan yang membentang dan membelah Desa Patemon. Pada ujung barat jalan tersebut merupakan Perempatan Patemon yang selalu dilewati angkutan umum. Sesampainya di lokasi tujuan, aku beserta rombongan menaiki angkutan umum menuju SMAN 1 Purbalingga.
Aku masuk kelas bertepatan dengan bunyi alarm. Aku duduk sendirian di deretan bangku belakang—paling pojok sebelah kiri. Deretan bangku terdepan di dekat meja pengajar, diduduki oleh cowok paling tenar sekelas. Begitulah. Tenar karena pintar. Itulah yang aku ketahui perihal dirinya selama sekian hari mengenalnya. Karyanya berupa cerpen, sering terpampang di Majalah Dinding Sekolah. Dia juga duduk sendirian.
Oh, iya. Bangku yang menjadi tempat dudukku, juga satu kursi kosong di sebelahku, ternyata dua bulan lalu diduduki oleh dua murid kembar. Namun, sudah meninggal akibat kecelakaan saat menyeberangi jalan raya depan sekolahan.
∆
Bunyi klakson terdengar. Kenangan seketika buyar. Sejenak kembali fokus menyetir dan perlahan menekan pedal gas. Laju mobil yang awalnya tersendat-sendat, selepas beberapa detik di jalur lurus, kembali lancar pada kecepatan sedang. Dan selama menyetir, kenangan itu kembali lagi.
∆
Aku ingat betul, kendatipun ingatan tentang situasi kelas telah berlalu sekian tahun, yang mana keadaan di dalam kelas pada kala itu sangat gaduh. Namun, aku malah tercenung. Harus kuakui duduk sendirian itu terasa hampa. Bagaimana tidak? Waktu itu aku remaja yang sedang memasuki masa pubertas. Secara naluriah jelas membutuhkan teman. Namun, aku lebih sering merasa dikucilkan dari pergaulan. Untungnya dari tiga puluh murid di dalam kelas, ada beberapa siswa yang mau mengobrol denganku. Satu di antaranya, Zona Putra, si tenar itu.
Sejujurnya tidak banyak topik setiap kali kami bercengkrama. Paling cuma membahas tugas sekolah dan karyanya. Selama mengenalnya, aku sudah dijejali puluhan karyanya. Saking bosan dan muak karena selalu mencoba menghargainya, pernah di suatu momen aku hanya tersenyum kusut.
Ups. Ada kenangan agak bikin kesal. Jadi, saat pertama kali masuk kelas sebagai murid baru, aku dipersilakan memperkenalkan diri oleh wali kelas. Sebelum sempat memperkenalkan diri, Putra langsung melempar pertanyaan. Mulai dari menanyakan nama, tempat tinggal, hobi, pelajaran kesukaan dan yang paling malas diikuti. Tak hanya itu, alasan pindah sekolah sampai pada hal privasi mengenai pacar, pun dijadikan topik tanya jawab. Aku menjawab alakadar. Namun, anehnya dia menolak duduk berdampingan denganku ketika wali kelas menyuruhku duduk bersama dengannya. Dasar gaduk.
∆
Bunyi klakson terdengar lagi, yang kali ini berasal dari ... ketika aku melirik spion, tampak mobil putih menyalip laju mobilku. Berhubung ingatan-ingatan itu masih juga bermunculan, aku pun mengurangi kecepatan dan melaju santai di tepian jalan beraspal, yang bagiku, kontur jalannya terasa kurang mulus.
∆
Wali kelas memasuki ruangan, Ibu Widi. Momen yang kuingat kali ini, berkaitan dengan Pras. Aku ingat, kala itu Ibu Widi Melangkah perlahan, kemudian menatap kami dengan tatapan tenang seraya menebar senyum ceria. Suasana gaduh seketika hening.