“Oke, deh ....” Putra lantas membopong Dewi dan mengecup keningnya. “Papah lebih suka mencium keningmu, Nak. Sekarang Dewi ke kamar lagi saja, ya!”
“Iyah, Pah ....”
Lantas Putra menurunkannya. Dewi lantas berlari kecil menjauhi kami. Sesaat aku tersenyum, melihat tingkah anak SD kelas satu, yang bagaikan malaikat mungil.
“Baterai ponselmu habis?” tanya Putra begitu Dewi lenyap dari pandangan.
Aku tidak langsung menjawab. Pertama-tama, melepas alas kaki yang dengan sengaja tak kulepas saat menapaki beranda. Kedua, melangkah masuk ke ruang tamu yang dindingnya bercat mustard, sehingga aku memunggunginya. Tanpa berbalik, aku bertanya, “Tadi menelepon diriku, Mas?”
“Iya.”
“Diangkat?” Nada suaraku merendah, dan aku berusaha mengatur degup jantung, yang mendadak berdetak kencang.
“Kau mengigau atau bagaimana? Kalau diangkat pasti saya tidak akan menanyakan hal itu.”
“Kita bahas nanti saja, ya,” pintaku mengulur waktu. Lantas berbalik dan aku agak kaget melihat Putra bercekak pinggang. Aku bicara lagi, “Seriusan dibahas nanti, ya. Aku mau mandi dulu, Mas.”
Pipi gembil dengan bekas cukuran kumis di atas bibirnya, membuat cupitnya yang simetris terlihat jelas. Entah mengapa, dia jadi lebih legit dipandang. Kulitnya memang berwarna cokelat, aku jadi ingatnya yang manis-manis. Ups. Dan memang benar adanya, yang terlihat, pun mencerminkan sikap romantisnya padaku. Hanya saja, seperti kali ini, dia sering cemberut dan marah. Padahal semasa sekolah, Putra ... ah, sudahlah. Pernikahan benar-benar membongkar kepribadiannya.
∆
Beberapa saat setelah surya terbenam. Pendulum berayun bolak-balik saat jarum jam menunjukan tepat tengah malam. Jam dinding itu melekat di dinding ruang tengah, tempat kami biasa menonton hiburan televisi. Dari balik dinding pemisah ruangan, aku mengamatinya.
Putra tengah duduk membungkuk menatap layar laptop, yang diletakkan di atas meja kaca. Dia sedang mengetik sesuatu. Secangkir kopi hitam dan sebungkus rokok tergeletak di samping laptop. Sesaat aku mesem. Entah kapan rokok itu lenyap dari hidupnya. Mungkin tidak akan pernah karena baginya efek nikotin yang merangsang saraf otak, merupakan sumber inspirasi dan penggali ilham. Orang awam atau mereka yang anti literasi tentu meremehkan alasan tersebut. Termasuk aku.
Barangkali karena Putra terkesan cuek dengan apa kata orang, dia jadi cenderung meminimalisir kepekaan terhadap orang lain. Itu membuatnya jadi lebih suka mengamati keadaan di sekitarnya ketimbang membaur untuk saling bercengkrama. Bagiku, jiwa dan isi kepala penulis itu rumit.
Tahun lalu perilisan novel perdananya sukses besar. Sebagai istrinya, aku bahagia, walaupun belum mau tahu dan peduli tentang dunia literasi.
Oh, iya. Pernikahan kami sudah sewindu. Dengan segala keteguhan batin aku belajar mencintainya demi mempertahankan komitmen.
“Tumben belum tidur, tadi siang dari mana?” Suaranya menyentakku.
Aku lantas mendekatinya sambil cengengesan karena ketahuan mengintip. Lantas duduk di sebelahnya. “Aku kedinginan, Mas.”
“Kau ngajak perang?”
Sejenak menyandarkan punggung ke badan sofa. “Apa kudu menunggu wangsitmu hilang, baru mau tidur bareng?”
Putra berhenti mengetik, melirikku, lalu tersenyum penuh siasat. “Untunglah kau masih ada di sini, tidak jadi korban penculikan. Tadi siang ada berita di televisi yang membahas maraknya orang hilang.”
“Oh, gitu. Jadi kamu menunggu kepulanganku karena khawatir?”
Putra terkekeh. “Tidak juga.”
“Lah ....”
Putra mengetik lagi. Aku berdeham.
“Saya sedang membuat novel baru,” katanya saat berhenti mengetik dan menoleh ke arahku.
“Ceritanya tentang apa, Mas?”
“Rahasia.”