Aku menyerah. Cengkeraman Putra menimbulkan nyeri di kedua pundak. Terbata kusebut nama Pras. Mendengar hal nama itu, matanya mengembun. Kekecewaan jelas menyembul dari lubuk hatinya. Putra lantas enyah. Sekian detiknya terdengar bunyi pintu kamar digebrak.
Aku mematung, menangis, dan menyesali kebodohanku. Demi pria masa lalu, aku telah menghancurkan kepercayaan suami. Janjiku, berhenti jadi advokat dan fokus mengasuh anak, justru kuingkari.
Salahkah bila perempuan lebih mengandalkan hati dalam mempertimbangkan keputusan ketimbang menggunakan logika? Menolong Pras sama saja mengiris-iris hati Putra. Namun, membiarkan orang yang butuh pertolongan, itu juga jahat.
∆
Selepas mengantar Dewi sekolah, aku duduk lesu di depan meja makan berbentuk persegi panjang bermaterial kayu bercat hitam mengilap dengan lapisan kaca melekat pada bidang atasnya. Sepiring nasi goreng untuk Putra masih utuh dan tergeletak. Dia pasti masih mengurung diri di kamar.
Semalam kami tidur saling memunggungi. Dia membiarkan aku menangis berbalut kemelut batin. Caranya menghukum begitu tega. Selalu begitu. Diam seribu bahasa saat kecewa dan marah padaku.
Sejujurnya, terkadang keinginan bercerai terlintas di pikiran. Namun, tatkala melihat Dewi di pangkuannya, membuat keinginan itu luntur. Jujur, menjadi orangtua tidaklah sepele. Demi anak salah satunya harus ada yang mengalah, berkorban dan tersakiti.
Jika ada sepasang kekasih begitu mudah memutus tali pernikahan, mengapa aku kesulitan? Mungkinkah mereka mementingkan ego masing-masing tanpa memikirkan nasib buah hati? Sering aku kepikiran hal ini. Barangkali Pras menjadi alasanku mempertahankan Putra. Aku tidak mau melihat derita batin Pras sebagai korban perceraian terlukis pula pada wajah anakku. Seandainya Putra tahu Pras menjadi bagian penguatku dalam mempertahankan rumah tangga, dia pasti akan lebih kecewa dari yang semalam. Terlepas dari itu, sesuai janjiku di masa lalu meski ikrarnya dalam keterpaksaan, aku akan tetap mencoba bertahan dan setia.
∆
Mengenang masa sebelum Dewi lahir. Bagiku, kehamilan dan proses melahirkan merupakan anugerah. Bagaimana tidak? Tuhan begitu cepat memercayaiku menjadi calon ibu.
Semasa kehamilan, Putra begitu protektif. Pagi, siang dan malam, aku bagaikan putri kerajaan yang dimanja pangeran. Dia teramat tulus mencintai, lebih dari apa pun. Ketika berat badanku naik, tubuh menggemuk, punggung semakin terasa nyeri, dia selalu ada menghadirkan rasa nyaman. Tatkala pipiku mulai kehilangan lesung pipit—sementara waktu—akibat pipi jadi tembem, Putra malah semakin perhatian.
“Kamu cantik, kuat, dan pastinya bisa melewati masa kehamilan ini,” kata Putra membuaiku. Sebenarnya aku lupa kapan tepatnya dia mengucapkan kata-kata itu.
Putra bisa lebay juga. Memangnya apa yang sudah kulakukan untuknya selain patuh, mencoba merindukannya dan rela ditiduri?
“Saya mencintaimu dalam keterbatasan dan letupan emosi.”
“Aku pun begitu sampai Tuhan memisahkan kita, Mas ...,” balasku yang tidak sepenuhnya jujur karena jauh di dalam lubuk hati, masih ada bayang Pras, kendatipun dia telah mencabik-cabik perasaanku.
∆
Lamunanku buyar tatkala terdengar suara deham. Entah sejak kapan Putra sudah berdiri di sisi lain ujung meja. Aku mengalihkan pandang, tapi juga curi pandang; raut wajahnya datar-datar saja. Dia lantas duduk dan menggapai sepiring nasi goreng itu.
“Seperti biasa, keasinan,” komentarnya. Kembali melahap, sementara aku menyender lemas sambil mengusap kening. Putra berbicara lagi, “Tapi terima kasih, saya kira kau bakal libur masak dan membiarkan saya kelaparan.”