Suara pintu diketuk diiringi bunyi salam lagi-lagi terdengar. Sebenarnya aku agak malas menghampiri seseorang di luar karena sejujurnya kenangan barusan lagi seru-serunya aku arungi. Yah, pacaran dengan Pras di belakang Putra, termasuk merahasiakan hubungan kami dari orangtua masing-masing, pada masa itu, rasanya kompleks banget.
∆
Suara perempuan di luar pintu kian terdengar jelas. Aku menyahut dan seketika membuka pintu. Melihat sosok yang bertandang tidak membuatku terkejut, Jurnalis. Aku mempersilakan dia duduk di ruang tamu, kemudian memintanya menunggu beberapa menit. Aku ke dapur, meracik kopi dan menyiapkan kue kering.
∆
Kira-kira tujuh-delapan menit kemudian, aku ke ruang tamu lagi seraya membawa nampan, yang mana di atasnya berdiri dua cangkir wedang kopi dan stoples camilan. Selepas menghidangkan di atas meja, aku duduk di sampingnya—duduk tenang di sofa melamin kombinasi kain jok bludru putih-cokelat tua. Aku perhatikan, dia tersenyum tipis sambil meletakkan tas pada atas meja kayu berukiran motif bunga di sebelah stoples.
Lima belas menit berlalu, sepertinya. Perbincangan menemui titik pembahasan utama setelah tadi sedikit basa-basi dan saling memperkenalkan diri. Dia bermaksud menggali informasi seputar diriku sebagai pengacara Pras.
“Sebagai jurnalis koran lokal, omong-omong namamu singkat banget, sih? Cuma Selvia?” tanyaku kepada perempuan berkacamata, yang mengenakan seragam kerja berwarna jingga. Katanya kemarin hadir melihat situasi persidangan.
“Nama Laras juga singkat,” pikirnya.
“Puji Laras, ya. Aku punya nama panjang. Kamu seriusan cuman Selvia atau memang ....”
“Apalah arti sebuah nama, Mbak Laras.” Dia mesem-mesem.
“Okelah kalau begitu. Jadi, kamu serius, nih, menginginkan informasi terkait persidangan kemarin?”
Selvia mengangguk.
“Kalau begitu, diminum dulu kopi manisnya.”
“Trims ....” Kali ini Selvia tersenyum lebar, sehingga jajaran giginya yang tidak rata juga berwarna kekuningan, terlihat jelas. Bahkan tampak pula gusinya yang ungu kehitaman. Dia pun menyesap secangkir kopi yang kayaknya hampir dingin karena suhu dingin di sini. Selvia lantas bertanya, “Apa alasan menerima kasus Pras, dan mengapa Anda meyakini semua itu bukan pembunuhan direncana?”
“Tadinya pilihan sulit. Alasannya sangat rumit dijelaskan, dan dirimu mungkin tidak akan puas ... entahlah, kita bahas moord saja. Oke!?”
“Baiklah. Istilah itu yang Anda sampaikan pada hakim waktu sidang, bahwa apa yang dilakukan terdakwa itu bukan moord. Itu artinya apa?”
“Moord. Jenis pembunuhan di mana memuat unsur yang memberatkan. Singkatnya, pembunuhan tersebut direncanakan. Kamu dapat mengeceknya kalau ingin lebih banyak tahu. Ngerti, kan, tempatnya bertanya banyak hal di mana?” Dan aku menahan tawa untuk pertanyaan itu.
“Ngerti bangetlah. Eh, tapi ... seyakin itukah sama pengakuan terdakwa? Di awal persidangan bukankah dia sudah mengakui membunuh? Dia bahkan yang menyerahkan dirinya sendiri ke kantor polisi. Cuman gara-gara tak memakai jasa pengacara, lalu mendapatkan putusan vonis berat, dia jadi memberontak berlagak orang kesurupan. Dia berteriak-teriak di tengah ruang sidang, bilang: pembunuhan itu tak disengaja. Perubahan sikap dan pengakuan terbarunya menjadi pertanyaan banyak pihak. Dan tentunya banyak konspirasi berseliweran tentang kasus ini.”
“Bukan hanya kalian, kok, yang bertanya-tanya terkait pengakuan terbarunya. Yang kutahu, keadaan sidang waktu itu memang kacau banget, tapi soal dia jadi kayak orang gila dengan teriak-teriak di tengah persidangan ....” Mendadak aku malas membahasnya.
“Kenapa berhenti bicara, Mbak Laras?”
“Aku malas bahas yang itu. Perasaan beritanya sudah tersebar luas. Misal pun aku tahunya tak sedetail yang kamu ketahui, aku tetap tak tertarik membahas itu. Dan sebagai pengacaranya, aku tegaskan padamu, aku mencoba untuk tahu lebih dalam lagi situasi yang klienku alami. Ini bukan masalah percaya atau tidak. Paham, ya.”
“Baiklah. Maaf, ya. Kita kilas balik dulu ke persidangan paling awal itu. Para hakim ataupun jaksa, mungkin saja mereka mempertimbangkan soal pertikaian. Ketika klien Anda melakukan tindak pembunuhan dilandasi emosi, tentu hal-hal yang meringankan sangat sulit didapatkan. Makanya vonis sekian tahun dijatuhkan, tapi—”
“Argumentasimu ngaco,” interupsiku. “Semua masyarakat tahu, kalau sidang pertama itu hanyalah arena permainan. Kelicikan dan kecurangan terjadi di sana.” Rasa-rasanya aku ingin marah padanya. “Kamu jurnalis yang mau cari berita terbaru atau mengungkit kejadian persidangan awal yang jelas-jelas sudah ketahuan salahnya untuk dibenturkan dengan pendapatku? Aku sama sekali tak tertarik.”
“Aduh, Mbak Laras maafkan, ya. Bukan begitu. Kita bahas topik lain lagi, ya.”
“Oke,” balasku seraya menahan kesal.
“Persidangan kemarin-kemarin itu, Mbak Laras katanya mau kasih bukti yang mendukung bahwa pengakuan terdakwa itu sebuah kejujuran. Bukti semacam apa itu?”
“Itu rahasia. Yang jelas masih tahap persiapan dan tentunya pas sidang nanti, diusahakan sudah siap.”
Mana mungkin aku membeberkan rekaman Pras, baik itu video atau hanya suara pengakuannya, sebagai buktinya nanti. Perjalanan bukti terbaru nanti masih panjang karena harus dianalisa oleh orang yang berkompeten dalam bidangnya agar buktinya autentik.
Beralih ke topik lain. Selvia bilang, sebelum ke sini dia sempat menemui orangtua korban dan memperoleh fakta yang didapatkan dari seorang informan. Bahwa Selvia punya fakta lain, selain kesedihan pihak keluarga korban. Ketika aku menanyakan nama informannya itu, Selvia menolak memberitahu.
“Yang jelas besok artikelnya terbit. Besok dibaca saja. Sebenarnya yakin tak yakin, tapi sepertinya kudu tetap jadi konsumsi publik,” bebernya.