“Ayo, Sayang!” seru Putra dari ambang pintu kamar.
Semerbak aroma parfumnya membuai diriku. Perhatianku terpaut sekian detik melihat penampilannya yang memesona; mengenakan setelan jas pesta kombinasi kemeja putih salur hitam tipis-tipis. Suamiku sore ini lumayan menggoda. Ups.
“Sabar, Mas,” kataku seraya menyanggul rambut. “Dewi mau kita ajak atau dititipkan?”
Kulihat Putra agak melongo. Kayaknya dia terpana melihat riasan wajahku, juga kagum dengan gaun hitam brukat panjang yang sampai menutupi mata kakiku.
“Kok, melongo, sih?”
Wajah Putra mendadak datar bak papan tulis. “Kita titipkan Dewi ke rumah nenek dan kakekmu saja. Setuju?”
Sepertinya Putra mengalihkan keingintahuan diriku tentang 'melongo' barusan. Okelah kalau begitu.
“Gimana, Ras?”
Aku tengah mempertimbangkan. Desa Patemon. Hmmm ... bagaimana bila Ibu Sarti menanyakan nasib anaknya? Soalnya berkas pembelaan buat Pras belum siap. Rumah beliau yang tepat di belakang rumah kakek-nenekku, pasti bakal menyadari keberadaanku.
“Malah diam.”
“Oke.” Dan aku mengangguk. Masih sambil menyanggul rambut, aku pun bertanya, “Oh, iya, Mas. Sekarang jam berapa?”
“Empat sore. Kabut di luar mulai menipis. Cepatlah! Saya ingin salat magrib berjamaah denganmu dan orangtua saya.”
Aku terkikik.
“lho, kok. Ada yang lucu?”
“Aku menstruasi terhitung mulai dari pagi tadi. Eh, iya, omong-omong soal orangtuamu, aku jadi kangen orangtuaku. Kapan, ya, mereka pulang kampung? Kayaknya hidupku bakal lebih sempurna kalau tak ditinggal jauh-jauh sama ayah. Andai saja ayah ....”
“Oooh. Kirain apa. Omong-omong soal Ayahmu, beliau itu punya tugas di luar kota. Kau harus maklum dan seharusnya menyemangatinya. Bayangkan jika beliau menganggur, apa kau merasakan dunia perkuliahan? Yakin bisa menjadi pengacara? Jadi berhentilah berandai-andai soal hal mana yang membuatmu bahagia. Buruk di kita bisa jadi baik di mata Tuhan. Kau begitu terus tidak ada bedanya mempertanyakan seberapa valid nasib dari-Nya.”
“Ceramah,” cibirku.
Putra terkikik. “Eh, mengenai menstruasi. Pantas saja tadi dirayu manja kau agak ... sudahlah.”
∆
Kami bertiga menuju Desa Patemon. Putra menyetir mobil, aku di bangku belakang bersama Dewi yang lagi pulas tidur di atas pahaku. Dari kaca mobil, sejenak aku memperhatikan kilau cahaya mentari menembus kabut di antara deretan random pohon pinus, tetapi di ujung wilayah lain tampak mendung. Sepertinya sebagian wilayah Purbalingga bakal hujan.
“Saya akan selalu menjagamu.” Barangkali barusan Putra mengamati ke mana mataku saat sekilas memandang cermin spion interior.
Aku lantas fokus memandang depan lagi. “Aku baik-baik saja, Mas. Jangan risaukan beban traumaku, oke!?”
Putra tidak menanggapi. Dia kali ini fokus pada jalanan menurun, serta mencoba jeli mengarahkan setir pada tikungan-tikungan tajam.
Trauma. Alasan terbesarku membenci Pras, selain dikecewakan perangainya sebagai pemabuk. Masa kelam mungkin berlalu dari ingatan, tetapi acap kali mengetuk lagi.
Berhubung aku ingin mengenyahkan ingatan trauma itu, aku bertanya asal, “Kamu memangnya tak tahu pemberitaan tentang Pras yang santer diberitakan akhir-akhir ini, Mas?”
“Tahulah. Tapi buat apa memikirkan nasibnya.”
“Pantas saja kamu semarah itu saat tahu aku jadi pengacaranya.”
“Oh, mulai berani bahas-bahas Pras terus, ya.”
“Bukan gitu, Mas—”
“Mungkin kau diam saja lebih baik.”
Deg. Sabar ... sabar.
∆
Nenek menyambut kedatangan kami. Kakek berada di dalam rumah, tengah duduk mendengarkan lagu dangdut dari saluran frekuensi radio. Udara di ruang tamu dipenuhi asap rokok, berasal dari tembakau murahan yang disulutnya. Putra tampak biasa saja. Malah langsung duduk di samping kakek sambil mengeluarkan bungkusan rokok.
Aku masih berdiri di ambang pintu bagian dalam, memandangi para perokok, seraya menggandeng Dewi yang baru bangun. Sekilas aku menunduk menatap wajahnya. Lesu dan cemberut. Perlahan kusentuh keningnya. Telempapku kemudian bergerilya di kepalanya, rambutnya kuusap-usap.
Setelah itu pandangan tertuju pada kakek. “Jangan merokok terus, Kek.”
“Percuma,” timpal nenek.
“Jen ayu temen ko, Ras ....” Kakek memuji.