Putra menjemputku dengan muka masam, sampai-sampai ngobrol basa-basi dengan Ibu Sarti pun tidak.
∆
“Dia itu ibu kawanmu, Mas. Tidak sopan bertingkah seperti orang baru kenal,” ucapku memulai pembicaraan.
Putra tidak menggubris.
Saat ini, aku Merebahkan punggung pada cover jok mobil berwarna serba hitam dengan material kulit. Mobil melesat dengan kecepatan normal.
Aku menggerutu. “Menyebalkan!”
Putra tetap diam.
Di malam yang mendung, kepedaran hatiku memuncak. Entah apa yang ada di pikiran suamiku, dia belum juga bersuara. Apalah dayaku tak mampu menggapai isi pikirannya.
“Saya malas berdebat. Bahas nanti saja. Pesta pasti sudah dimulai.” Putra tancap gas.
Mataku melebar dan agak syok ketika kecepatan mobil bertambah.
“Cuma gara-gara pesta?” Aku melirik tajam. “Pestanya siapa, sih? Di mana lokasinya? Aneh, kok, dari tadi siang tidak dijelaskan.”
“Kau bertanya pun tidak.”
“Ya, sekarang aku lagi tanya, kan?” Aku mengerucutkan bibir.
“Pesta penulis novel kriminal. Lokasi di alun-alun kota. Dia teman saya, biasa dipanggil—“
“Penulisnya pakai nama pena apa nama asli? Nama lengkapnya siapa, Mas?”
“Nama asli, laki-laki, kawan-kawan termasuk saya memanggilnya Sakaji. Itu karena dia tidak punya nama panjang, ya. Belum menikah, umurnya 30 tahun, yang berarti dia setahun lebih tua dari saya—”
“Aku dan kamu seumuran, ya, Mas. Beda tanggal dan bulan lahir saja.”
“Saya lagi menjelaskan, jangan main potong omongan orang.” Lantas Putra menoleh ke arahku, menyipitkan mata, kemudian kembali fokus menyetir. Sesekali membunyikan klakson karena ingin menyalip. Jalur Perempatan Sirongge baru terlewati.
“Sorry, Mas. Cus, jelaskan lagi. Aku mendengarkan.” Inginnya menjulurkan lidah, biar dia tahu, aku agak kesal.
“Novel teranyarnya terbit. Pesta ini bagian dari penjualan karyanya. Kau mungkin akan terkejut melihat siapa saja tamu undangan yang hadir. Narasumbernya pun ikut hadir.”
“Oh, penulis sepertimu. Ternyata tetap tidak mau rugi,” komentarku. “Kita datang, makan-makan, eh, dengan sangat halusnya pas kita mau pulang disuruh beli novelnya. Hadeeeh ....”
“Asumsimu kelewatan.”
Aku mesem-mesem.
Kira-kira tiga ratus meter dari selatan Perempatan Sirongge, ada patung besar berbentuk sosok laki-laki penempa knalpot, yang tegap berdiri di tengah-tengah simpang tiga. Putra memelankan laju mobil dan berbelok ke timur, lalu ke selatan. Sampailah kami di Alun-alun Purbalingga.
Kendatipun belum keluar mobil, dari balik kaca mobil, aku melihat kemegahan tenda pesta. Sampai-sampai aku bertanya, “Astaga, teman Mas Putra menyewa lapangan alun-alun hanya untuk mendirikan tenda seluas ini?”
“Jangan kaget,” jawabnya. “Dan biasa sajalah.”
Sungguh aku terpukau melihat tenda putih setinggi ... mungkin sepuluh meter dengan lebar hampir sepertiga dari luas alun-alun, yang berbentuk persegi dengan tiap sudutnya didesain melengkung. Tenda itu berdiri kokoh di atas tanah berumput hijau ... entah apa jenis rumputnya
Putra menggaetku setelah keluar dari mobil. “Lihatlah. Ada ratusan turis.”
Mataku menelisik ke segala arah, dan melihat kerumunan imigran. Suasana sangat riuh dengan ragam bahasa yang, lumayan kupahami.