Putra membawaku pulang. Kami sepakat membiarkan Dewi menginap. Yang kurasakan kali ini, laju mobil dipacu oleh Putra begitu cepatnya di jalanan sepi kendaraan lalu-lalang.
Satu jam perjalanan tanpa obrolan membuatku bertanya-tanya. Apa yang tengah suamiku pikirkan? Aku tidak berani memulai pembicaraan karena kuyakin, hati dan pikirannya lagi sangat kacau, sama kacaunya dengan diriku.
Tragedi barusan merupakan peristiwa mengerikan seumur hidupku dan dirinya. Putra tak kunjung bersuara. Barangkali Putra merasa bersalah atau menyesal oleh ketidakmampuannya menyelamatkan Sakaji. Namun, sikap diamnya yang begitu, sangat menyiksa diriku.
“Kau baik-baik saja?”
Aku heran, Putra memancing pembicaraan dengan pertanyaan begitu. Apa aku ada luka? Tidak. Berarti diriku baik-baik saja.
“Baiklah jika enggan bicara,” katanya bernada rendah.
“Terima kasih,” ucapku lembut. Aku meremas pundaknya.
“Untuk apa meremas pundak saya?”
Aku menatapnya lekat-lekat. “Untuk kekhawatiranmu. Aku masih baik-baik saja, Mas ”
“Mereka sebenarnya mengincarmu, Ras,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca. Kendatipun arah pandang Putra tertuju depan, aku bisa melihatnya dari ekor matanya yang tampak berair.
Aku tercekat.
“Penglihatan gaib saya kala itu, memperlihatkan orang berjubah tudung dan juga bertopeng. Dia membawa pisau dan ditemani beberapa rekannya. Tujuannya untuk menghabisi nyawamu.”
“Jadi salah sasaran?”
“Bukan salah sasaran. Keterpaksaan memicu pembunuhan itu. Setelah menerawang niat jahat dia dan kawan-kawannya, penglihatan gaib saya mendadak melompat ke—”
“Bagaimana bisa bukan aku yang terbunuh?” Aku sengaja menyela. Penasaran.
“Awalnya saya hanya melihat perencanaan keji terhadapmu, kemudian penerawangan melompat tidak jelas pada adegan perkelahian Sakaji dengan orang bertopeng itu. Saya tidak menyangka bakal terjadi sebab selama ini, yang saya percayai dari penglihatan gaib, tidak lebih dari kabar curian setan ....” Putra berhenti berbicara.