Istana Awan Gelap

Davie Al-Fattah
Chapter #1

Bayangan di Atas Observatorium

Kasus pertama yang memanggil mereka kembali ke Istana Awan Gelap. Seorang pendaki ditemukan tewas di pinggir sungai yang mengalir dari arah pegunungan, tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik sama sekali. Polisi belum bisa menyimpulkan apa-apa. Ada sesuatu yang lebih tua dari alam yang bersemayam di sungai itu. Ini adalah awal yang akan menjadi pintu pembuka: ada sesuatu yang mengawasi mereka dari suatu tempat—hal yang sama yang dulu menghantui observatorium sebelum terbengkalai.

 

Di sudut malam yang cukup dingin setelah lewat jam sebelas, mereka bertiga duduk di meja bundar yang diterangi lampu tunggal yang menggantung persis di atas kepala. Cahaya itu kuning pucat—sejenis cahaya yang terasa terlalu lelah untuk benar-benar menyala, seperti ia pun ikut memikul beban dunia yang mereka teliti. Benar-benar malam yang sulit bagi mereka bertiga.

“Aku masih belum melihat kejanggalan pada kasus ini,” gumam Azizah dengan nada rendah namun tajam, matanya tidak lepas dari tumpukan berkas dan foto-foto forensik yang disebar acak di atas permukaan meja kayu tua. Jemarinya yang kurus sesekali mengetuk ujung foto, menandai detail-detail kecil yang tidak dikatakan tetapi ingin ia pahami. Sambil mencoba ikut berpikir, Nugraha membalik kursi, duduk terbalik, lalu menyandarkan lengannya pada sandaran kursi tersebut. Ia tersenyum tipis—bukan senyum ramah, tapi semacam senyum yang timbul dari kelelahan yang terlalu lama disimpan. “Kau masih tak percaya kalau ini tipikal kasus untuk kita?” ucapnya dengan nada datar, nyaris seperti menegur namun juga menggoda. Nissa tidak berbicara. Ia hanya menatap kaca jendela besar yang gelap, memantulkan bayangan mereka bertiga. Dari sudut tertentu, pantulan itu membuat mereka tampak seperti tiga sosok tanpa wajah yang duduk berkumpul dalam ritus rahasia. Di luar jendela, kabut malam mengambang pelan di antara pohon-pohon pinus yang mengitari bangunan itu—sebuah bangunan tua yang dulu adalah observatorium, kini menjadi markas yang mereka sebut sebagai Istana Awan Gelap.

Tempat yang dulunya dipakai untuk mengamati bintang. Lensa teleskop raksasa yang retak di tengah ruangan atas masih berdiri, seperti mata raksasa yang telah buta. Namun ketika observatorium itu ditinggalkan, cerita-cerita aneh mulai bermunculan: cahaya tak dikenal yang turun dari langit, suara-suara yang melintas di lorong tanpa wujud, serta “bayangan tinggi” yang selalu terlihat berdiri di kubah observasi setiap kali hujan turun. Kini bangunan itu menjadi markas tiga orang yang tidak meminta tugas ini, tetapi seolah dipilih oleh takdir yang kelam.

Ada alasan mengapa mereka menamakan tempat ini Istana Awan Gelap. Karena di bawah langit yang paling gelap, di antara kabut yang tidak pernah benar-benar hilang, di sini mereka menyimpan kasus-kasus yang tidak pernah disentuh polisi, jaksa, atau siapa pun yang masih ingin hidup tenang. Dan malam itu, kasus baru tiba di meja mereka. “Lihat ini,” ucap Nissa akhirnya. Suaranya pelan, tapi atmosfer ruangan langsung menegang. Ia menarik sebuah foto dari tumpukan—foto yang, sejak tadi, seakan semua orang takut menyentuhnya. Foto itu menampilkan tubuh seorang pendaki pria paruh baya yang ditemukan di pinggir sungai. Tidak ada luka tusuk. Tidak ada bekas cekikan. Tidak ada tanda kekerasan. Tetapi wajah pria itu…

Mereka semua melihat hal yang sama:

Wajah yang tampak seperti dicekik dari dalam. Seolah ada sesuatu yang mendorong keluar dari tenggorokannya, tetapi tidak pernah berhasil keluar.

“Sesuatu membunuhnya,” kata Azizah, “tapi bukan manusia.” “Bukan pula hewan,” timpal Nugraha sambil menghela napas. “Dan polisi sudah menyerah. Mereka tidak punya teori. Itu kenapa folder ini sampai ke kita.”

Nissa menatap foto itu lebih lama, sampai-sampai lampu di atas terasa bergetar oleh intensitas tatapannya. “Ada cerita lama tentang daerah sungai itu. Cerita yang bukan sekadar legenda.” Nugraha tertawa kecil. “Jadi kita pakai teori hantu lagi malam ini?”

 

“Tidak,” kata Nissa. “Kali ini… lebih tua dari sekadar hantu.” Azizah menutup map tersebut. “Kita berangkat besok pagi. Kita akan ke TKP langsung sebelum orang-orang sekitar bangun.” Nugraha berdiri dan meregangkan bahunya. “Bagus. Aku butuh udara yang tidak mengandung aroma tua bangka mati.” Tidak ada yang tertawa. Karena mereka tahu, apa pun yang terjadi di sungai itu… tidak akan sesederhana kematian biasa. Sebelum mereka beranjak dari ruangan, angin tiba-tiba berhembus dari arah lorong gelap—padahal semua jendela sudah ditutup rapat. Lampu menggoyang perlahan, dan ketiganya saling menatap.

“Tidak biasanya ada angin malam ini,” ujar Azizah. “Ini observatorium tua, Ziz. Banyak celah,” jawab Nugraha. Namun nada suaranya ragu-ragu. Ia dan Azizah sama-sama tahu: angin dari lorong bukanlah sesuatu yang normal. Nissa melangkah mendekati pintu lorong, menatap ke dalam kegelapan pekat yang tidak seharusnya sepekat itu. Sejenak matanya bergeser—reaksi kecil yang hanya muncul ketika ia menangkap sesuatu yang tidak seharusnya ada.

“Ada bayangan,” kata Nissa tanpa mengalihkan pandangan. “Kau yakin?” tanya Azizah, langsung waspada.

Nissa mengangguk pelan. “Tinggi. Tidak bergerak. Seperti menunggu.”

“Menunggu apa?”

Nugraha mendekat.

Tatapan Nissa perlahan bergeser ke arah dua temannya. “Menunggu kita membuka kasus ini.”


Mereka akhirnya beranjak tidur, tapi tidak satu pun dari mereka benar-benar tidur. Di atas kubah observatorium, hujan mulai turun pelan, dan di antara suara rintiknya, ada jeda aneh—seolah sesuatu lain ikut mengetuk atap metal itu dari luar. Bagian paling mengganggu bukanlah suara ketukan itu. Bukan pula bayangan tinggi di lorong yang mungkin atau tidak mungkin ada. Yang paling mengganggu adalah, setiap kali mereka bertiga memejamkan mata… mereka merasa sedang diperhatikan oleh sesuatu yang berdiri tepat di luar jangkauan cahaya. Dan semua itu terjadi bahkan sebelum mereka memulai penyelidikan.

Kasus sungai itu bukan pintu masuk. Ia hanya bayangan pertama… dari sesuatu yang jauh lebih besar. Istana Awan Gelap selalu memberi peringatan sebelum sebuah kasus yang benar-benar buruk datang. Dan malam itu, peringatannya terasa terlalu jelas. Terlalu dekat. Terlalu hidup. Hujan belum benar-benar turun ketika jam dinding tua di ruangan utama observatorium berdentang pelan. Bunyi “tik… tik… tik…” dari detik jarum terasa tidak wajar, seolah resonansinya memantul lebih lambat dari biasanya. Azizah, yang sudah berbaring di sofa panjang dekat dinding, membuka mata saat mendengar suara itu—ia tidak pernah suka dengan suara jam dinding, terutama di tempat yang setua dan serapuh ini.

Nissa masih duduk di depan jendela besar, tidak bergerak, hanya mengamati kabut yang perlahan mengambang menutupi puncak pepohonan. Wajahnya tenang, tapi ketenangan itu bukan tanda kenyamanan; lebih seperti ketenangan seseorang yang terbiasa melihat hal-hal yang membuat banyak orang kehilangan akal sehat. Nugraha berjalan menuju dispenser, mengisi gelas dengan air, lalu meneguknya perlahan. Ia menatap ruangan sekeliling mereka. Setiap kali malam turun, observatorium itu berubah menjadi sesuatu yang lain—dindingnya seakan semakin tebal, udara semakin diam, dan bayangannya semakin panjang.

Lihat selengkapnya