Di sebuah rumah kos, seorang mahasiswa hilang tanpa jejak. CCTV menunjukkan ia berjalan di lorong… lalu lenyap seperti bayangan yang dicabut dari tubuh. Ketiganya menemukan pola yang sama seperti pada kasus pendaki. Setiap suara lorong menjadi terlalu hening; seakan ada sesuatu yang memakan suara itu. Kasus ini mulai menunjukkan bahwa seseorang—atau sesuatu—sedang menguji mereka.
Udara dini hari masih mengendap di pakaian mereka ketika mobil berhenti di di sebidang tanah lapang yang agak rimbun tertutup ilalang di sebuah bukit dekat aliran sungai. Jam di dasbor menunjukkan 02.57. Tak ada dari mereka yang berkata apa pun. Seolah tubuh mereka sudah tahu bahwa jam tiga pagi bukanlah waktu untuk bicara, melainkan waktu ketika batas antara dunia yang terlihat dan yang tidak… menjadi tipis seperti helai napas. Nugraha menatap ke luar jendela. “Kalau apa yang kita lihat di sungai tadi pagi memang terjadi karena jam tiga… maka malam ini tidak boleh kita lewatkan.” Nissa membuka pintu mobil, merasakan dingin yang lebih menusuk dari biasanya. “Airnya berubah. Batu itu tergores. Suaranya… terlalu dekat. Kita harus memastikan apakah itu kebetulan, atau pola.”
Azizah menyalakan kamera inframerahnya yang sempat mati di observatorium. Lampunya berkedip-kedip, tidak stabil, tapi cukup menyala. “Kalau kamera mati lagi… berarti bukan kerusakan teknis.” Mereka berjalan menuruni bukit menuju sungai. Embun menggantung di udara, seperti butiran kaca kecil yang membeku. Suara langkah mereka kembali bergema aneh—memantul dengan jeda yang tidak presisi. Nissa yang paling pertama sadar. “Langkah kita… bergema setengah detik lebih lambat dari yang seharusnya.” “Ya,” Nugraha menjawab, “heningnya tidak normal.” Hening itu padat, seperti sesuatu yang menekan udara. Seperti ada ruang di sekitar sungai yang menolak menyalurkan suara.
Saat mereka tiba di tepi air, warna sungai kembali normal. Tidak ada kebiruan, tidak ada jejak goresan baru. Batu yang pagi tadi tergores masih ada—tetapi… “Bekasnya memudar,” ujar Azizah perlahan. “Seakan dihapus.” Nugraha menyentuh permukaan batu. “Tidak terhapus oleh air. Tidak oleh waktu. Tapi seperti… ada sesuatu yang membetulkan apa yang kita lihat.” Nissa berdiri memandangi pepohonan yang gelap. “Seolah sungai tidak ingin kita tahu.” Mereka menunggu beberapa menit. Tidak ada suara napas panjang seperti kemarin pagi. Tidak ada bayangan yang bergerak. Tidak ada hening yang menggigit. Justru itu yang membuat semuanya lebih menakutkan.
“Ini bukan tempatnya,” kata Nissa akhirnya.
“Tempat apa?” tanya Azizah.
“Tempat wujud itu muncul. Kita pikir sungai ini kuncinya. Padahal mungkin… ini hanya satu dari banyak pintu.”
Nugraha akan menjawab, tetapi teleponnya bergetar. Satu panggilan masuk.
Nomor tidak dikenal. Ia mengangkat. Suara di seberang napasnya pendek dan terburu-buru.
“Ini benar… tim dari Istana Awan Gelap?”
Nugraha menatap kedua rekannya.
“Iya. Ada apa?” Suara lelaki muda, gemetar dan hampir terbelah.
“Tolong datang ke Rumah Kos Damar. Teman saya… dia… dia menghilang. Bukan kabur. Menghilang. CCTV kami melihatnya… jalan di lorong, lalu tubuhnya… gelap… lalu menghilang begitu saja.” Nissa merasakan dadanya mengencang. “Dihapus?” bisiknya pada Azizah. “Seperti suara di sungai,” jawab Azizah lirih. Lelaki itu di telepon melanjutkan dengan suara pecah: “Tolong cepat. Orang-orang di kos takut untuk buka pintu. Lorongnya… terlalu hening. Kami bisa dengar suara napas kami sendiri. Bahkan detakan lampu neon pun… hilang.” Nugraha tidak menunggu penjelasan lain. “Kirim lokasinya.” Begitu telepon ditutup, ketiganya saling menatap—pendek, tegang, penuh kesadaran. Apa pun yang mereka cari di sungai… Sudah pindah lokasi. Sudah menemukan mereka duluan.
Dalam perjalanan menuju Rumah Kos Damar, mobil terasa seperti bergerak di dalam ruang tertutup tanpa udara. Tidak ada yang bicara. Tidak ada musik. Bahkan suara ban yang bersentuhan dengan aspal terasa meredam. Azizah akhirnya berkata pelan: “Seandainya hilangnya mahasiswa ini… berkaitan dengan apa yang kita dengar pagi tadi… berarti sesuatu itu bisa memindahkan hening. Memilih tempat.”
Nugraha mengeratkan rahangnya.
“Hening yang hidup.”
Nissa menatap keluar jendela ke langit gelap pekat. “Dan makhluk seperti itu… tidak pernah bergerak tanpa alasan.”
Ketika mereka sampai di kos, pukul menunjuk 03.41. Lorong-lorong kos itu ditelan warna abu-abu kebiruan, seperti foto lama yang memudar. Tidak ada suara. Benar-benar tidak ada.
Nugraha mengetuk pintu kos. Empat mahasiswa berwajah pucat keluar, tubuh mereka memeluk diri sendiri. Salah satu dari mereka menunjuk layar CCTV.
Tangannya gemetar. “Ini… videonya.”
Dan di layar itu, mereka bertiga — Nissa, Azizah, Nugraha — menyaksikan sesuatu yang jauh lebih buruk daripada yang mereka bayangkan. Mahasiswa seperti ditarik masuk kedalam lorong itu. Lampu neon berkedip. Jemarinya menyentuh dinding. Lalu seluruh lorong… masuk ke dalam hening absolut. Tidak ada suara. Tidak ada warna. Tidak ada gerak. Kabut hitam tipis muncul di belakang mahasiswa itu…bukan kabut… tetapi ruang kosong.
Seolah ada lubang kecil antara dunia ini dan sesuatu yang tidak seharusnya ada. Tubuh mahasiswa itu ditarik… atau dipadamkan… atau dipisahkan dari dirinya sendiri. Dan dalam hitungan detik— Ia hilang. Tidak jatuh. Tidak terangkat.