Istana Awan Gelap

Davie Al-Fattah
Chapter #3

Bayangan Hitam di Jendela

Seorang ibu rumah tangga melapor bahwa anak perempuan kecilnya berbicara dengan “tamu” yang berdiri di jendela setiap jam 2 pagi. Ketika mereka menyelidiki, anak itu menggambar tiga sosok: Nissa, Azizah, dan Nugraha—padahal mereka belum pernah bertemu. Si “tamu” meninggalkan pesan samar, mirip simbol di kasus pertama. Kasus ini menunjukkan bahwa pelaku (atau entitas) mengenal mereka secara personal.

 

Malam itu adalah malam purnama, tapi bukan jenis purnama yang menenangkan. Cahaya bulan memantul seperti belati tumpul di permukaan awan tebal yang bergerak lambat, seperti sesuatu yang bernafas di balik langit. Awan-awan itu berkumpul, menutup sebagian cahaya, menyisakan rona pucat keperakan yang membuat setiap sudut kota tampak lebih dingin dari biasanya. Tidak ada angin, tidak ada suara burung. Hanya keheningan yang seperti menempel di kulit, tebal, lembab, dan tidak ramah.

Nissa berjalan paling depan, mantel hitamnya berkibar pelan saat ia dan kedua rekannya menyusuri gang menuju rumah kecil bercat hijau tua. Rumah itu terlihat seperti menahan nafas—lampunya redup, jendelanya tertutup tirai, tetapi seakan ada sesuatu di dalam yang mengawasi mereka. Azizah menoleh sebentar, memperhatikan langit.

“Kau lihat itu?” gumamnya pelan.

“Purnamanya?” tanya Nugraha.

“Tidak. Awan itu… bentuknya mirip pola yang kita lihat di tepi sungai.” Azizah menunjuk samar, suaranya nyaris tidak terdengar.

Nissa berhenti sejenak. Dari sudut tertentu, awan-awan itu memang membentuk pola melengkung yang hampir identik dengan simbol aneh yang mereka temukan di batu sungai saat pagi tadi. Pola melingkar dengan tiga garis beririsan… seperti mata yang belum sepenuhnya membuka. “Ini kebetulan,” kata Nugraha datar sambil mengetuk pintu pelan. “Atau setidaknya, aku harap begitu.”

Suara langkah pelan terdengar dari dalam rumah. Sebuah suara perempuan tiga puluhan membuka pintu, dengan wajah pucat dan mata yang jelas kurang tidur. Namanya Dina, ibu dari anak kecil yang melapor tentang “tamu jendela.”

“Masuk… cepat,” katanya terburu-buru, matanya memandang ke luar seperti seseorang yang takut ada sesuatu mengikuti. Mereka bertiga masuk. Begitu pintu tertutup, suasana rumah seketika berubah: terlalu sunyi, seperti suara dunia tiba-tiba berhenti di ambang pintu. Azizah spontan menempatkan tangannya di saku mantel, memegang alat perekam audio kecil yang ia bawa. Ia mengangguk pada Nissa: heningnya tidak normal. Dina duduk gugup, meremas jari-jarinya. “Saya… saya tidak tahu harus mulai dari mana.” “Mulai dari kejadian pertama kali,” ujar Nissa lembut namun tegas. Dina menarik nafas panjang. “Anak saya, Mita… sudah tiga malam berturut-turut bangun jam dua pagi. Ia bilang ada tamu. Tamu yang berdiri di luar jendela kamar.”

Nugraha bersandar, tangan menyilang. “Tamu?” ulangnya. “Orang asing?”

Dina menggeleng cepat. “Tidak… bukan orang asing. Ia bilang… ‘teman lama’. Padahal dia belum pernah ketemu siapa-siapa di sini sejak kami pindah.” Nissa berpandangan dengan Azizah. Kata teman lama membuat bulu kuduk keduanya berdiri. Di kasus-kasus sebelumnya, entitas yang muncul sering menggunakan istilah itu: teman, saudara, seseorang yang dikenal sejak lama meski korban tidak pernah mengenalnya. “Kami ingin bicara dengan Mita,” kata Nissa. “Boleh?” Dina mengangguk, lalu memandu mereka ke lantai atas.

Tangga kayu berderit setiap kali diinjak, tapi anehnya suara derit itu langsung lenyap begitu bergema. Seolah sesuatu memakan gema itu. Azizah menelan ludah. “Pola yang sama,” gumamnya pada Nissa. “Hening yang menyimpan ketakutan.” Mereka masuk ke kamar kecil dengan wallpaper biru muda. Mita duduk di sudut, memegang krayon. Anak itu tidak terlihat takut. Justru terlalu tenang, terlalu fokus dengan kertas gambarnya.

Nissa berjongkok. “Hai, Mita. Boleh aku lihat gambar mu?” Anak itu mengangguk pelan. Ia menyerahkan kertas itu… dan ketiga penyelidik itu langsung membeku. Gambarnya adalah tiga sosok. Tidak begitu jelas tapi mengisyaratkan sesuatu. Satu perempuan berambut panjang. Satu perempuan berkacamata dengan rambut pendek. Dan satu pria dengan garis dagu yang tegas.

Itu… mereka.

“Apa kamu pernah melihat kami sebelumnya?” tanya Azizah hati-hati.

Mita menggeleng. “Tidak. Tapi tamu itu bilang aku harus menggambar kalian. Katanya kalian sudah lama memperhatikannya.” Hening pecah seperti kaca. Nissa merasakan punggungnya dingin. Nugraha memiringkan kepala, ekspresinya menegang.

“Apa tamu itu bilang sesuatu lagi?” tanya Nugraha. Mita mengangguk. “Ia bilang kalian bertiga sebentar lagi akan masuk ke tempat yang sama seperti yang ada di sungai itu.” Azizah menelan nafas. “Apa maksudmu, sayang?” Mita tersenyum polos. “Ia bilang… ‘Air sudah menunggu tiga bayangan’. Aku tidak tahu maksudnya.”

Nissa tersentak. Kata-kata itu persis seperti simbol dekat tubuh pendaki yang tewas di sungai. Dan suara anak itu, entah kenapa, terdengar seperti bergema jauh yang tidak wajar.

“Kapan tamu itu datang ke jendela?” tanya Nissa pelan.

“Jam dua,” jawab Mita. “Dia selalu berdiri diam… sambil mengetuk-ngetuk kaca begini.” Mita mengetuk lantai dengan sendirinya. Tok… tok… tok… tiga ketukan. Pelan. Teratur. Suara itu menggema aneh, lalu langsung hilang. Seolah ruangan menelannya. Dina menutup mulut, hampir menangis. “Saya takut… saya takut dia bukan manusia…”

“Kami akan memeriksa kamarnya,” ujar Azizah langsung. Mereka bertiga mendekat ke jendela kamar. Tirainya tipis, bergerak pelan meski tidak ada angin. Saat Nissa menyentuh kaca, permukaannya terasa… terlalu dingin. Bukan dingin biasa. Dinginnya seperti permukaan batu di dasar sungai yang gelap.

“Lihat ini,” kata Nugraha pelan. Di sudut bawah jendela, ada bekas sidik jari. Tiga garis memanjang. Tidak seperti sidik jari manusia—lebih seperti bekas kuku yang sangat panjang, tapi tumpul.

“Bukan manusia,” gumam Azizah.

“Bukan sesuatu yang hidup seperti kita,” tambah Nugraha.

Nissa mengusap bekas itu. Ada sedikit aroma besi. Darah… atau sesuatu yang mirip darah. Mereka memutuskan memasang kamera di kamar Mita. Nugraha menyiapkan alat perekam frekuensi rendah. Azizah memeriksa jendela dan memasang sensor getaran. Setelah semuanya siap, mereka turun. Namun sebelum meninggalkan rumah, Mita memanggil mereka lirih.

“Kak Nissa…”

Nissa menoleh.

“Jangan berdiri di dekat jendela malam ini.”

Nissa mengeryit. “Kenapa?”

“Karena tamunya bilang… ‘kalian sudah dipilih sejak awal’.”

Lihat selengkapnya