Sebuah gedung rumah sakit terbakar tahun lalu. Saat proses renovasi, para pekerja menemukan ruang bawah tanah yang tidak tercatat dalam blueprint. Di dalamnya terdapat banyak kasur, sabuk penahan, serta rekaman eksperimen psikologis ekstrem yang hilang sejak puluhan tahun lalu.
Kabut turun lebih awal malam itu—lebih awal dibanding hari-hari lain, bahkan lebih cepat dari prediksi cuaca. Seolah langit memperingatkan bahwa ada sesuatu yang seharusnya tidak diungkap, sesuatu yang selama puluhan tahun terkubur di bawah lantai rumah sakit yang kini retak dan menganga. Nissa berhenti tepat di depan gerbang proyek renovasi, menatap bangunan gelap yang pernah menjadi rumah sakit terbesar di area itu. Senter di tangannya sedikit bergetar, bukan karena takut, tapi karena udara terlalu dingin. Dingin yang tidak wajar untuk jam delapan malam.
Azizah menyusul dari belakang. “Kau yakin ini tempatnya?” Nugraha—yang sedari tadi memeriksa laporan pekerja bangunan—mendekat sambil menunjukkan catatan singkat. “Ini gedung rawat inap lama. Tahun lalu terbakar bagian sayap timurnya. Tapi di laporan pekerja… mereka bilang ada lantai bawah tanah yang tidak tercatat dalam blueprint.” Azizah menatap gedung itu. “Rumah sakit semacam ini mustahil tidak memiliki dokumentasi bangunan lengkap.” Nugraha mengangguk. “Makanya kita datang. Mereka bukan saja menemukan ruangan yang tak tercatat. Mereka bilang… ada bau aneh keluar dari dalamnya. Dan suara.” Nissa menarik napas panjang. “Suara apa?”
“Suara seperti seseorang… diseret.”
Tak ada yang bicara setelah itu. Hening terlalu asing bagi mereka; hening yang sudah mereka kenal dari tiga kasus sebelumnya. Sungai, observatorium, lorong kos mahasiswa hilang—semuanya memiliki keheningan yang sama: keheningan yang bukan karena tidak ada suara, tetapi keheningan yang seperti memakan suara. Dan kini, keheningan itu terasa lagi di depan mereka.
Mereka memasuki gedung rumah sakit dengan langkah hati-hati. Dinding-dinding yang hangus menimbulkan bayangan patah saat cahaya senter menyentuhnya. Ada bau obat yang menguap dari bekas apotek, bercampur dengan bau hangus yang tidak pernah hilang sejak kebakaran. Namun ada juga bau lain. Bau logam dingin. Seperti bau besi yang lama tidak disentuh. Seperti… bau darah yang sangat tua. “Tempat ini terlalu sepi.. terlalu senyap,” gumam Azizah sambil menyenter lorong. Nissa mengalihkan senter ke ruangan-ruangan sepanjang lorong. Sebagian masih berisi ranjang terbakar. Ada yang rangkanya melengkung karena panas, seperti orang yang tubuhnya dipaksa menjerit dan membengkok.
“Ini lebih dari sekadar hangus,” katanya pelan. “Lihat pola gosongnya. Api tidak datang dari luar. Seperti… menyala dari dalam ruangan.” Azizah menelan ludah. “Kau pakai kata ‘menyala’ seperti itu seakan ini sesuatu yang hidup.” Nissa hanya menjawab dengan tatapan kosong.
Mereka tiba di ruangan yang lantainya terbelah, menganga seperti perut bumi terbuka. Ubin-ubin pecah, dan celah besar menurun vertikal ke bawah. Cahaya senter tak mencapai dasar. Udara dari celah itu dingin, bahkan terlalu dingin untuk ruangan tertutup. Nissa mendekat perlahan. “Ini bukan retakan akibat kebakaran.” “Bukan?” tanya Nugraha. Ia menggeleng pelan. “Struktur ubin turun ke dalam. Rapi. Seperti… ada ruangan besar di bawah sana, tapi sengaja disembunyikan. Kebakaran hanya membuka pintu masuknya.” Azizah menatap ke gelap. “Rapi bagaimana?” Nissa menyapu senter, menunjukkan pola bekas semen yang membentuk garis lurus raksasa. “Seseorang pernah menutup ruangan itu. Dengan cara yang sangat… sangat profesional. Dan ingin memastikan tidak ada siapa pun yang tahu.” Nugraha menegangkan rahang. “Tapi lantainya runtuh. Dan pekerja melihat itu. Dan sekarang kita ada di sini.”
Mereka menuruni tangga sempit yang ditemukan para pekerja. Tangga itu tidak seperti bagian lain gedung—tidak hangus, tidak rusak, seolah dilindungi oleh sesuatu. Cahaya senter memantul pada dinding lembab. Saat mereka sampai di dasar, ruangan besar itu menyambut mereka—gelap, sepi, dan seperti ruang waktu yang berhenti berdetak. Ada kasur-kasur tua, masing-masing dengan tali penahan. Ada rak kayu yang masih berdiri tegak memuat ratusan kaset rekaman. Ada meja besi penuh alat-alat medis kuno, tertata terlalu rapi sehingga terasa tidak wajar. Namun yang paling mengganggu adalah bau.
Bau yang tidak berasal dari mayat, tidak dari obat, dan tidak dari ruangan lembab.
Tapi bau yang… seperti waktu yang membusuk. Azizah mengusap hidung. “Tempat ini salah.” Nissa menunduk, melihat lantai. “Lihat kalau kau perhatikan, ubinnya seperti baru dipasang. Tidak cocok dengan bagian atas.” “Mereka membangun ruangan ini terakhir,” kata Nugraha pelan. “Bukan bagian asli rumah sakit.” Azizah mengangkat satu kaset, meniup debu. Tidak ada label. “Ada ratusan kaset begini. Semua polos.”
Nugraha mengambil salah satu dan memasukkan ke pemutar tua. “Kita dengar dulu sampel…” Kaset berputar. Suara statis. Detak jam. Lalu suara laki-laki:
“Subjek mengalami peningkatan respons… resistensi tak terduga.
Tes akan dilanjutkan pada sesi ke-41.”
Ada jeda panjang. Lalu suara itu melanjutkan:
“Anomali ini… rasanya seperti—”
Kaset berderit seolah dipaksa berhenti. Kemudian suara lain muncul. Bukan suara manusia. Suara berdesis. Dalam. Terlalu rendah untuk menjadi getaran pita.
Nissa mematikan pemutar. “Itu bukan suara teknis. Itu… suara sesuatu.”
Azizah berbisik, “Ada hal lain yang lebih aneh. Kenapa kaset-kaset ini tetap di sini saat kebakaran?” Nugraha menatap rak kaset yang terlihat bersih dari jelaga. “Ya. Semua di sini terlihat seolah… tidak pernah disentuh oleh api.” Saat mereka menjelajah lebih dalam, senter Nissa tiba-tiba meredup. Azizah langsung mendekat. “Kau lihat itu?” Azizah berbisik. Salah satu kasur bergerak. Pelan. Bukan terdorong angin tidak juga arus udara. Tapi seolah ada sesuatu di bawah kasur itu yang merayap, mendorong dari bawah. Ketiganya mundur bersamaan.
“Ini seperti di sungai…” gumam Nissa. “Ada sesuatu… sesuatu yang bergerak di tempat yang seharusnya tidak bergerak.” Azizah menyambar tangan Nissa. “Jangan dekat-dekat lagi.” Nugraha memperhatikan dinding. “Simbol itu lagi.” Di dinding utara, simbol aneh muncul perlahan, seperti tinta hitam merembes keluar dari pori-pori dinding: tiga garis melengkung patah, lingkaran terbelah, garis retak seperti tulang. “Ini simbol yang sama dari observatorium,” Nissa berbisik. “Dan di gambar anak kecil itu.” Azizah menutup mulutnya. “Kita diikuti.” Nugraha menegakkan tubuh. “Atau dipanggil.”
Tiba-tiba, ruangan itu hening. Hening yang sama—hening yang memakan suara.
Nafas mereka menghilang, seperti tidak terdengar. Suara kain gesekan hilang.
Detak jantung pun hilang di telinga. Lalu… Suara anak kecil terdengar dari dalam kegelapan. “Kalian telat…”
Nissa langsung memutar senter ke arah suara. Tidak ada siapa pun. Tidak ada pintu. Tidak ada tempat bersembunyi. Azizah bergidik. “Ayo keluar. Sekarang.” Mereka naik ke permukaan dengan langkah yang semakin cepat. Saat sampai di lantai atas, angin malam menyambut mereka, lebih hangat dari ruangan bawah tanah. Tapi ketiganya tahu satu hal:
Ruangan itu bukan ruang eksperimen.
Bukan ruang isolasi.
Itu ruang pemanggilan.
Dan keberadaan mereka di sana bukan kebetulan.
Angin malam yang menyambut mereka di pelataran rumah sakit terasa seperti pukulan keras ke tubuh—terlalu hangat, terlalu lembap, seolah udara luar tiba-tiba menyamarkan rasa dingin berlebihan dari ruang bawah tanah. Azizah mengusap lengannya, mencoba menyingkirkan sensasi dingin yang seperti masih merayap di kulitnya.